Media Digital dalam Memberdayakan Kemampuan Berpikir Kritis Abad 21 pada Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar
By Indah Sari (2022015022)
Era digital Abad Ke-21
Abad ke-21 mengharuskan peserta didik untuk menguasai berbagai keterampilan, seperti berpikir kritis, kreatif, kolaboratif, dan komunikatif (Sari & Atmojo, 2021). Dalam pembelajaran di abad ke-21, sistem pendidikan harus beradaptasi dengan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi untuk mencapai tujuan pembelajaran yang diinginkan (Norrizqa, 2021). Teknologi dapat dimanfaatkan sebagai alat bantu dalam proses pembelajaran, memberikan dampak yang signifikan. Oleh karena itu, agar teknologi efektif sebagai alat bantu pembelajaran, pemanfaatannya harus memperhatikan kualitas dan kuantitas sumber daya, termasuk guru, siswa, serta sarana dan prasarana pendukung (Habib et al., 2020). Teknologi yang bisa digunakan dalam proses pembelajaran adalah teknologi yang diintegrasikan ke dalam media pembelajaran. Dengan demikian, media pembelajaran berbasis teknologi diperlukan untuk mendukung pembelajaran abad ke-21 dan mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. (Halim, 2022)
Ilmu Pengetahuan Alam juga dikenal sebagai Sains, adalah ilmu yang membahas tentang fenomena alam yang diorganisir secara sistematis berdasarkan hasil percobaan dan observasi yang dilakukan oleh manusia. Memahami ilmu pengetahuan alam bermanfaat bagi kehidupan manusia karena manusia hidup berdampingan dengan alam. Oleh karena itu, pendidikan IPA diberikan sejak dini, yaitu di tingkat sekolah dasar. Dalam kurikulum 2013, pengajaran IPA di sekolah dasar memiliki penyajian materi yang berbeda antara kelas tinggi dan kelas rendah. Di kelas tinggi terdapat kompetensi dasar IPA, sedangkan di kelas rendah tidak ada kompetensi dasar IPA. Meskipun demikian, materi IPA tetap ada dan diintegrasikan dengan kompetensi dasar lainnya, seperti Bahasa Indonesia. Tujuan pengajaran IPA di sekolah adalah agar peserta didik memiliki penguasaan terhadap pengetahuan, sikap ilmiah, dan keterampilan proses.
Media pembelajaran awalnya dimaksudkan untuk mendukung kegiatan pembelajaran yang digunakan oleh guru, seperti model, objek, gambar, dan lainnya. Selanjutnya, terjadi perkembangan pesat di era revolusi 4.0 yang mengantarkan era revolusi 5.0 pada saat ini. Salah satu pengaruh kemajuan teknologi terhadap bidang pendidikan adalah penciptaan materi pembelajaran yang berbasis digital atau teknologi. Penggunaan media pembelajaran digital dalam pendidikan memiliki potensi untuk mentransformasi pengalaman belajar yang lebih menarik dari paradigma pendidikan konvensional yang relevan dengan kehidupan peserta didik. Dengan demikian, media pembelajaran digital memungkinkan siswa untuk belajar mandiri atau berkolaborasi, mengeksplorasi materi dengan cara yang interaktif, dan mengembangkan kemampuan yang relevan dengan dunia digital yang terus berkembang.
Media pembelajaran berbasis digital dapat diterapkan dalam proses pembelajaran, salah satunya dalam pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Mata pelajaran IPA adalah wahana bagi siswa untuk mempelajari diri mereka sendiri dan alam sekitar, serta prospek lebih lanjut dalam menerapkan pengetahuan yang didapatkan dalam kehidupan sehari-hari. Pembelajaran IPA bertujuan untuk mempersiapkan siswa agar dapat memecahkan masalah yang mereka hadapi, membuat keputusan yang matang, dan menjadi orang yang tidak pernah berhenti belajar. Namun, pembelajaran IPA di Sekolah Dasar sering kali dihadapkan pada tantangan, seperti konsep yang kompleks dan abstrak, serta keterbatasan sumber daya dan waktu di dalam kelas. Dalam pembelajaran IPA di sekolah dasar, banyak siswa yang kesulitan dalam memahami materi, siswa juga terkadang memandang permasalahan hanya dari satu sudut pandang saja, tidak memperhatikan sudut pandang lainnya. Pembelajaran di kelas juga terkadang membuat siswa merasa jenuh dan bosan, karena guru masih sering menggunakan metode belajar yang konvensional, seperti ceramah. Selain itu, guru masih menggunakan media belajar lama, seperti buku paket dan Lembar Kerja Siswa (LKS), sehingga siswa sulit dalam memahami materi. Jika siswa sulit dalam memahami materi, mereka juga akan sulit untuk mengembangkan keterampilan sesuai dengan abad 21, salah satunya adalah kemampuan berpikir kritis. Dalam hal ini, pentingnya penggunaan media pembelajaran sebagai alat untuk merangsang proses belajar sangatlah krusial. Penelitian tentang penggunaan media pembelajaran berbasis digital telah dilakukan oleh. Penelitian ini menunjukkan bahwa pembelajaran berbasis digital dapat meningkatkan keterlibatan peserta didik dalam mengeksplorasi dan memahami materi. Penelitian lain oleh Maisarah et al. (2023) menyarankan para guru untuk menggunakan media digital dalam pembelajaran IPA di Sekolah Dasar. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Siregar et al. (2021) mengidentifikasi berbagai inovasi media digital yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis abad ke-21 dalam pembelajaran IPA di Sekolah Dasar. Inovasi tersebut mencakup game edukasi digital, video, YouTube, PowerPoint, Macromedia/Adobe Flash, komik digital, e-book, flipbook, augmented reality, virtual reality, website pendidikan, televisi pendidikan, serta aplikasi pendidikan seperti Ruangguru, Quipper School, dan Kelas Pintar. Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut, penggunaan media pembelajaran berbasis digital sangat penting dalam proses pembelajaran, khususnya dalam pembelajaran IPA di Sekolah Dasar.(Halim, 2022)
Media pembelajaran digital menawarkan berbagai sumber yang mudah diakses dan alat pembelajaran interaktif, seperti animasi, video, simulasi, dan permainan edukatif yang dapat meningkatkan pengetahuan siswa. Dengan media digital, guru dapat memvisualisasikan konsep-konsep materi IPA yang sulit dipahami oleh siswa dengan cara yang menarik dan mudah dipahami. Ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Luthfi et al. (2023), yang menyimpulkan bahwa media digital dalam pembelajaran IPA memiliki berbagai manfaat, termasuk mengefektifkan pencapaian tujuan pembelajaran IPA, menarik perhatian peserta didik, memudahkan pemahaman konsep materi IPA yang sulit atau abstrak, serta mengembangkan keterampilan 4C, salah satunya adalah kemampuan berpikir kritis. Media pembelajaran berbasis digital adalah salah satu jawaban dalam menerapkan proses belajar mengajar yang aktif dan efektif, terutama dalam pembelajaran IPA. Media pembelajaran berbasis digital cenderung memberikan penjelasan terkait hal-hal yang realistis, sehingga peserta didik lebih mudah memahami pembelajaran yang disampaikan oleh pendidik. Hal ini karena siswa sekolah dasar akan lebih menerima pemahaman yang mendalam jika pembelajaran disajikan dengan cara yang konseptual.
Menurut Anies Baswedan (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia 2014–2016), pendidikan di abad 21 akan berlandaskan pada tiga pondasi utama: karakter, kompetensi, dan literasi. Masing-masing pondasi ini memiliki beberapa aspek yang menjadi pilar-pilar pendidikan yang harus dibangun secara serius. Secara struktural, pilar-pilar pendidikan abad 21 dapat dijelaskan sebagai berikut:
Karakter
Karakter dapat diartikan sebagai sifat bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, dan watak. Lebih lanjut, karakter juga bisa diartikan sebagai seperangkat atribut kepribadian yang bisa diterima atau tidak diterima oleh masyarakat. Secara sederhana, karakter dapat diterjemahkan sebagai sifat individu yang mencakup akumulasi berbagai responnya terhadap berbagai rangsangan yang terjadi baik secara langsung maupun tidak langsung. Orang yang berkarakter, dalam istilah umum, adalah individu yang memiliki serangkaian sifat yang dikagumi dalam masyarakat. Sebaliknya, orang yang tidak berkarakter adalah individu dengan sifat-sifat yang tidak disukai mayoritas masyarakat.
Karakter dalam pendidikan abad 21 akan bergantung pada dua hal utama, yaitu karakter moral dan karakter kinerja. Karakter moral adalah karakteristik individu yang sesuai dengan norma, kemuliaan, dan hal-hal yang dikagumi terkait kepribadian dalam masyarakat. Contoh karakter moral yang menjadi tujuan pendidikan abad 21 adalah ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, keimanan, kejujuran, kesabaran, kepedulian kepada sesama, kasih sayang, dan sebagainya. Sementara itu, karakter kinerja berfokus pada integritas kepribadian yang kokoh. Karakter kinerja dalam pendidikan abad 21 berfokus pada pelaksanaan fungsi-fungsi unggul yang diperlukan untuk memberikan penampilan terbaik. Contoh karakter kinerja termasuk pekerja keras, tangguh, ulet, dan tidak mudah menyerah ketika menghadapi kesulitan. Orientasinya adalah memberikan peluang besar bagi seseorang untuk menampilkan prestasi atau pencapaian dalam bidang apa pun yang ditekuninya.
Dua jenis karakter ini—karakter moral dan karakter kinerja—adalah pondasi utama yang harus dibangun sebagai pilar dalam pendidikan generasi abad 21. Tujuan pendidikan sebenarnya adalah membangun kepribadian generasi yang memiliki karakter unggul baik dari sisi moral maupun kinerja.
Kompetensi
Pilar kedua dalam dunia pendidikan abad 21 yang harus ada ialah kompetensi atau kemampuan dan efektivitas dalam menyelesaikan tugas yang diemban. Kompetensi memegang peranan yang penting dan tidak kalah signifikannya dengan pilar karakter sebagai pondasi pendidikan yang sempurna dan mampu menjawab
Amar Halim tantangan zaman. Kompetensi dalam ranah pendidikan akan memiliki spektrum yang luas meliputi berbagai hal yang harus dipenuhi. Namun, secara khusus empat bagian penting dari kompetensi yang harus dipersiapkan oleh dunia pendidikan abad 21 adalah sebagai berikut :
a. Berpikir Kritis
Kompetensi pertama yang harus dimiliki oleh generasi di abad 21 adalah kemampuan berpikir kritis atau critical thinking. Kebutuhan untuk berpikir kritis ini mendorong mereka untuk tidak sembarangan menerima atau menolak suatu ide, gagasan, pemikiran, atau apapun tanpa terlebih dahulu melakukan koreksi dan evaluasi. Berpikir kritis tidak hanya bertujuan untuk memverifikasi sesuatu sebagai benar atau salah, baik atau tidak baik. Dalam penerapan yang lebih luas dan menyeluruh, kemampuan berpikir kritis juga menuntut seseorang untuk memahami latar belakang, manfaat, pertimbangan, perbandingan, substitusi, implementasi, bahkan inovasi-inovasi yang bisa dikolaborasikan untuk memberikan nilai tambah pada suatu ide. Semua komponen dalam berpikir kritis ini pada akhirnya akan membantu individu atau siswa menghasilkan keputusan yang logis, bermanfaat, dan berdampak luas pada masyarakat. Besarnya dampak berpikir kritis sebagai salah satu pilar dominan untuk menghadapi tantangan dunia abad 21 juga menuntut setiap praktisi pendidikan untuk mulai menerapkannya dalam bidang mereka masing-masing. Kemampuan berpikir kritis adalah kemampuan yang harus dibangun, dimulai, dibiasakan, dan dikembangkan sebagai pondasi pendidikan yang lebih komprehensif dan siap menghadapi tantangan zaman yang semakin kompleks.
b. Kreatif
Poin kedua dalam ranah kompetensi adalah kreativitas. Kreativitas memiliki makna yang sangat luas dan definisi yang beragam. Namun, dalam konteks pendidikan, kreativitas dapat disimpulkan sebagai kemampuan seseorang untuk menghasilkan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan atau ide maupun karya nyata yang berbeda dengan apa yang sudah ada. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kreativitas diartikan sebagai kemampuan untuk menciptakan (daya cipta). Kreativitas sendiri adalah aktivitas otak yang teratur, komprehensif, dan imajinatif yang mengarah pada sesuatu yang orisinal.
Dari dua pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa kreativitas adalah kemampuan individu untuk berpikir dan berimajinasi melalui pola teratur yang komprehensif dengan tujuan menghasilkan sesuatu yang benar-benar baru (orisinal), baik dalam bentuk gagasan maupun karya nyata. Dengan pengertian ini, sederhananya kreativitas adalah sesuatu yang harus dilatih, dipraktikkan, dibiasakan, dan dibangun supaya menjadi kebiasaan yang produktif. Kreativitas menjadi salah satu pilar penting untuk menghadapi tantangan zaman karena tanpa kreativitas, manusia akan kehilangan naluri untuk memulai atau menciptakan gagasan yang selaras dan relevan dengan perkembangan zaman.
c. Komunikatif
Bagian ketiga terkait kompetensi yang harus dimiliki oleh generasi abad 21 adalah kemampuan berkomunikasi yang efektif dan tepat sasaran, yang sering disebut sebagai komunikatif. Frank E.X. Dance mendefinisikan komunikatif sebagai proses yang dilakukan oleh seorang komunikator untuk menyampaikan rangsangan (stimulus) dengan tujuan mengubah atau membentuk perilaku orang lain sebagai komunikan. Dalam praktiknya, komunikatif mencakup stimulus yang bersifat verbal, sikap, bahasa tubuh, atau simbolik dengan tujuan mendapatkan respons yang tepat dari komunikan yang dituju. Kemampuan untuk berkomunikasi dengan tujuan dan efektivitas semacam ini membutuhkan pembiasaan dan latihan. Dalam dunia pendidikan modern, di mana kemampuan komunikasi yang efektif menjadi keharusan, bagian ini harus diberikan porsi yang besar. Generasi yang akan menghadapi tantangan kompleks abad 21 harus mampu mengkomunikasikan ide dan gagasan mereka kepada orang lain agar ide dan gagasan tersebut dapat direalisasikan dan mencapai sasaran yang diinginkan.
d. Kolaboratif
Bagian terakhir dari kompetensi dalam proyeksi pendidikan abad 21 yang ideal adalah kolaboratif atau kemampuan bekerjasama dengan orang lain. Kolaboratif memiliki peran penting untuk memastikan suatu gagasan dapat menjadi tujuan bersama yang menggerakkan dan memotivasi orang lain untuk mencapainya. Kolaborasi tidak hanya dimaksudkan sebagai cara untuk membangun kebersamaan dalam berkarya semata. Namun, dalam tahap yang lebih signifikan, kemampuan kolaboratif adalah jawaban utama yang dibutuhkan dalam merespons tantangan zaman yang tidak mungkin lagi dapat diatasi oleh kemampuan yang bersifat individual.
Pengertian Berpikir Kritis
Berpikir kritis, dalam pengertian sederhana, adalah cara mengelola informasi tanpa langsung menerima atau menolaknya, melainkan dengan memeriksanya terlebih dahulu melalui serangkaian pertimbangan, kalkulasi, pengujian, dan verifikasi (Ofianto & Ningsih, 2021). Dalam konteks yang lebih luas, berpikir kritis adalah metode efektif untuk merangsang imajinasi, inovasi, dan kreativitas manusia, sehingga dapat melampaui apa yang telah ada, baik dalam konsep pemahaman maupun implementasinya. Berpikir kritis adalah berpikir secara beralasan dan reflektif dengan menekankan pada keputusan tentang apa yang harus dipercayai atau dilakukan. Robert Ennis melanjutkan bahwa berpikir kritis digunakan dalam proses berpikir untuk menganalisis pendapat serta memberikan ide dari masing-masing arti dan interpretasi, yang bertujuan mengembangkan penalaran logis guna memahami letak asumsi dan bias dalam setiap posisi. Definisi menarik dari aktivitas berpikir kritis juga dapat dilihat dari pendapat Rasiman dan Kartinah (Irdayanti, 2018) bahwa berpikir kritis bisa dianggap sebagai kemampuan siswa membandingkan dua atau lebih informasi, misalnya antara informasi yang diterima dengan yang sudah dimiliki (Masmuji, 2021). Apa pun pengertian yang digunakan untuk mendefinisikan proses atau aktivitas berpikir kritis, hal ini selalu mengarahkan pelakunya untuk menggunakan akal pikirannya dalam melakukan analisis mendalam dengan cara membandingkan, mempertimbangkan manfaat dan kerugian, menguji relevansinya dengan kenyataan, dan berbagai tindakan praktis lainnya. Dalam pengertian ini, berpikir kritis akan membuat seseorang bertindak lebih hati-hati dan terencana saat menerima informasi yang memerlukan respon (Oktaviani, 2021). Dalam konteks yang lebih luas, berpikir kritis bukanlah domain yang hanya dimiliki oleh orang dewasa. Dengan tingkat implementasi yang berbeda, anak-anak dan orang dewasa pun dapat menerapkan pola pikir mendalam ini. Namun, dalam praktiknya, dunia berpikir anak-anak, remaja, dan orang dewasa akan memiliki perbedaan signifikan baik dalam segi interpretasi maupun penalaran. Meskipun demikian, dasar dari semua ini adalah sama, yaitu mengalokasikan waktu lebih banyak untuk menganalisis informasi dengan lebih teliti, detail, dan menyeluruh.(Mcgill & Bax, 2005)
Praktik dan Implementasi Berpikir Kritis di Usia Sekolah Dasar
Implementasi pembelajaran untuk berpikir kritis antara anak usia Sekolah Dasar (SD) dengan anak usia Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau Sekolah Menengah Atas (SMA) tentu berbeda meskipun orientasi utamanya sama. Ada berbagai faktor mendasar yang membuat stimulus untuk mendorong berpikir kritis harus disesuaikan dengan tingkatan usia tertentu agar dapat memperoleh respons yang diinginkan. Pada anak-anak Sekolah Dasar, latihan berpikir kritis tentu harus disesuaikan dengan perkembangan usia mereka. Implementasinya adalah dengan menemukan cara yang ideal dan tepat sasaran untuk membangun budaya berpikir kritis sejak dini.
Berdasarkan kurikulum 2013, guru hanya berperan sebagai fasilitator dalam proses pembelajaran, menuntut siswa untuk lebih aktif dalam belajar. Sayangnya, orientasi pembelajaran yang diharapkan dari penerapan kurikulum ini masih belum mencapai tujuannya. Banyak siswa yang tidak aktif dalam proses pembelajaran, kemungkinan besar karena kurangnya kemampuan berpikir kritis. Akibatnya, pada tingkatan yang lebih tinggi seperti SMP, SMA, atau bahkan Perguruan Tinggi, banyak siswa yang tetap pasif selama proses belajar. Ketidakaktifan siswa ini merupakan indikasi kurangnya kemampuan berpikir kritis yang seharusnya telah ditanamkan sejak lama sebagai pondasi dasar dalam belajar.
Kurangnya pencapaian target pembelajaran dalam kurikulum 2013 sudah seharusnya menjadi perhatian dan catatan bagi setiap praktisi pendidikan. Dengan menarik kesimpulan awal sebagai cara untuk mengambil langkah perbaikan, fokus perbaikan ini dapat dimulai dengan menanamkan, membiasakan, serta mengarahkan siswa pada tingkat dasar (SD) untuk memiliki kemampuan berpikir kritis. Mempelajari, mempraktikkan, dan membiasakan berpikir kritis pada tingkat Sekolah Dasar akan menjadi awal yang sempurna untuk menumbuhkan kemampuan berpikir kritis yang lebih konkret, komprehensif, dan solutif pada tingkatan selanjutnya.
Menumbuhkan Budaya Berpikir Kritis Sejak Pendidikan Dasar
Menumbuhkan budaya berpikir kritis sejak pendidikan dasar tidak hanya mampu menciptakan generasi yang lebih aktif dalam proses pembelajaran di jenjang-jenjang yang lebih tinggi, tetapi juga akan memberikan dampak luar biasa pada kemampuan adaptasi generasi tersebut terhadap tantangan dunia teknologi. Sebagai konsekuensinya, berbagai manfaat berpikir kritis seperti menjadi pribadi yang lebih mandiri, lebih peka terhadap peluang baru, lebih mudah memahami sudut pandang orang lain, mampu meminimalisir kesalahan persepsi, menjadi rekan kerja yang menarik, serta tidak mudah dimanipulasi, akan menjadi serangkaian kompetensi yang juga dapat diperoleh secara tidak langsung sebagai efek samping dan kebiasaan berpikir kritis.
Ketika telah tercapai kesepakatan tentang pentingnya peran berpikir kritis pada usia Sekolah Dasar, pertanyaan berikutnya adalah bagaimana tujuan tersebut bisa dicapai? Atau dalam bahasa yang lebih sederhana: bagaimana mengimplementasikan kebiasaan berpikir kritis pada siswa sekolah dasar? Hal ini tentu saja berkaitan erat dengan pertimbangan usia mereka, keberagaman fisik mereka, perkembangan otak mereka, dan mungkin juga latar belakang mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Halim, A. (2022). Signifikansi dan Implementasi Berpikir Kritis dalam Proyeksi Dunia Pendidikan Abad 21 Pada Tingkat Sekolah Dasar. Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, 3(3), 404–418. https://doi.org/10.36418/jist.v3i3.385
Mcgill, T., & Bax, S. (2005). Learning IT: Where Do Lecturers Fit? International Journal of Information and Communication Technology Education (IJICTE), 1(3), 36–46. https://doi.org/10.4018/jicte.2005070103