UPAYA MENINGKATKAN HASIL BELAJAR IPA DAN KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS SISWA DENGAN MENERAPKAN MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING (PBL)
Dita azzahra (2021015271)
Belajar merupakan suatu aktivitas yang hendaknya dilakukan secara terus-menerus tanpa mengenal Batasan usia. Belajar dapat dilakukan secara formal, informal, berdasarkan pengalaman pribadi, maupun berdasarkan pengalaman orang lain. Menurut pendapat (Syahputra, Edi : 2018) Pembelajaran merupakan merupakan proses yang dibangun oleh pendidik untuk meningkatkan moral, intelektual, serta mengembangkan kemampuan yang dimiliki peserta didik. Adapun kemampuan yang hendaknya dimiliki oleh peserta didik yaitu kemampuan berpikir kritis, kemampuan dalam berkereatifitas, kemampuan dalam memecahkan masalah, hingga kemampuan penguasaan materi pembelajaran dengan baik. Perkembangan abad 21 ditandai dengan semakin pesatnya perkembangan teknologi komunikasi. Kesuksesan siswa pada abad 21 tergantung pada kemampuan siswa dalam menguasai kecakapan abad 21. Sehingga siswa harus belajar dan pendidik harus menyediakan fasilitas bagi siswa mengembangkan kecakapan abad 21. Partnership for 21st Century Skills mengindentifikasi bahwa kecakapan abad 21 meliputi berpikir kritis, pemecahan masalah, komunikasi dan kolaborasi.
Pembelajaran IPA berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam. Sehingga pembelajaran IPA tidak hanya berfokus pada penguasaan fakta atau konsep tetapi merupakan suatu proses dalam penemuan suatu pengetahuan. Sehingga, dalam pembelajaran IPA diperlukan peran aktif siswa dalam menemukan pengetahuan. Proses pembelajaran IPA menekankan pada pemberian pengetahuan secara langsung dan mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Untuk dapat mewujudkan tujuan dari pembelajaran guru harus mampu menjadi fasilitator dalam meciptakan lingkungan pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan siswa seperti yang telah terangkum dalam kurikulum. Pembelajaran IPA harus mampu memfasilitasi siswa dalam menguasai kecakapan abad 21 yaitu : 1) keterampilan belajar dan berinovasi yang meliputi kemampuan dalam memecahkan masalah, kreatif dan inovatif, serta mampu berkomunikasi dan berkolaborasi; 2) terampil untuk menggunakan media, teknologi,
informasi, dan komunikasi (TIK); 3) kemampuan untuk menjalani kehidupan dan karir, meliputi kemampuan beradpatasi, luwes, berinisiatif, mampu mengembangkan diri, memiliki kemampuan social dan budaya, produktif, dapat dipercaya, memiliki jiwa kepemimpinan, dan tanggung jawab (Kemdikbud, 2014).
Namun pada kenyataannya pembelajaran IPA kerap kali tidak sesuai dengan tujuan dari pembelajaran IPA. Pada penelitian yang dilakukan (Ipa et al., 2014) pembelajaran IPA di sekolahan tidak seperti dengan hakikat pembelajaran IPA yang sesungguhnya. Pembelajaran IPA di sekolahan masih terpaku pada paradigma penelusuran informasi sehingga melupakan aspek keterampilan proses dalam memperoleh ilmu. Selain itu dalam pembelajaran di kelas penggunaan model pembelajaran yang mengarahkan siswa siswa untuk merekontruksi pengalaman dalam kehidupan sehari-hari masih kurang. Selian itu, permasalahan lain, penggunaan model pembelajaran konvensional yang hanya berorientasi pada aktivitas guru dan ranah kognitif. Permasalahan tersebut berdampak pada rendahnya hasil belajar IPA siswa SD. Selain itu, rendahnya hasil belajar IPA dapat dibuktikan berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh Trend in Mathematic and Science Study (TIMSS) pada tahun 2011, menyatakan bahwa skor rata-rata dan peringkat Indonesia pada mata pelajaran IPA yaitu peringkat 40 dari 42 negara dengan perolehan skor 406.
Rendahnya hasil belajar IPA siswa dapat diakibatkan antara lain karena rendahnya pemahaman siswa dalam menerima materi pelajaran yang diberikan oleh guru, belum terjadinya suasana yang aktif ketika pembelajaran berlangsung, dan kurangnya keterlibatan siswa secara langsung. Hal ini juga dapat menghambat kemampuan siswa dalam berpikir kritis terhadap berbagai informasi. Sehingga siswa sulit dalam mengaitkan materi pelajaran dan aplikasinya di kehidupan sehari-hari. Kemampuan berpikir kritis ini perlu dikembangkan pada siswa karena merupakan salah satu kecakapan hidup (life skill) yang menjadikan siswa terlatih dalam memecahkan masalah dan mengambil keputusan (Fatmawati et al., 2018). Pembelajaran yang masih terpusat pada guru atau teacher centered learning (TCL), membuat siswa kurang mengembangkan kemampuan berpikir kritisnya. Padahal kemampuan berpikir kritis perlu dikembangkan untuk melatih siswa menganalisis masalah, membuat keputusan dari berbagai sudut pandang, lebih teliti, cermat dan logis. Berpikir kritis adalah berpikir logis dan reflektif yang dipusatkan pada keputusan apa yang diyakini atau dikerjakan (Ennis dalam Saiful,2013). Suyanto (2011)
mengatakan bahwa berfikir kritis adalah suatu upaya dimana proses peningkatan secara sistematis kognitif siswa dengan pemikiran yang harus lebih peka untuk merumuskan, menganalisis, dan mengevaluasi prinsip dan pendapat dari siswa tersebut (Rizki Intan, 2018).
Untuk mengatasi masalah tersebut maka perlu adanya inovasi model pembelajaran yang dapat meningkatkan hasil belajar serta kemampuan berpikir kritis siswa. Salah satunya dengan menerapkan model pembelajaran Problem Based Learning (PBL). Pembelajaran dengan model Problem Based Learning (PBL) merupakan salah satu model pembelajaran yang berlandaskan teori konstruktivisme. Menurut Sujatmika (2016), mengatakan bahwa Problem Based Learning (PBL) merupakan salah satu cara untuk lebih mengaktifkan peserta didik selama proses pembelajaran. Selain itu model ini mendesain suasana belajar untuk memecahkan masalah baik secara individu maupun kelompok. Sari dan Sugiyarto (2015) mengatakan bahwa Problem Based Learning (PBL) adalah model pembelajaran yang bercirikan menggunakan masalah dalam kehidupan nyata sebagai sesuatu yang harus dipelajari peserta didik untuk melatih dan meningkatkan kemampuan berpikir, pemecahan masalah, serta mendapatkan pengetahuan konsep penting (Fatmawati et al., 2018). Problem Based Learning (PBL) adalah suatu model pembelajaran yang dapat memberikan macam-macam kondisi dimana suatu permasalahan nyata tersebut dapat terselesaikan dengan penyelidikan yang nyata. Dimana pembelajaran tersebut ialah suatu interaksi yang dapat memberikan perubahan tingkah laku dan sikap dari seseorang. Sehingga dalam pembelajaran yang berbasis PBL disini akan dapat membantu peserta didik agar mereka dapat mengembangkan keterampilan berfikirnya secara kritis dan dapat mengembangkan kemampuan penyelesaian terhadap masalah yang konkret. Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) adalah pembelajaran dengan memecahkan masalah guna lebih mengaktifkan peserta didik selama proses pembelajaran, sehingga dapat melatih dan meningkatkan kemampuan berpikir kritis, pemecahan masalah, serta mendapatkan pengetahuan konsep penting
Adapun Ciri-ciri pembelajaran Problem Based Learning (PBL), menurut Hmello Silver dan Brarows (Fakhriyah, 2014) yaitu pengajuan pertanyaan/masalah, berfokus pada keterkaitan antar disiplin, penyelidikan autentik, menghasilkan produk, memamerkannya dan kolaborasi. Pembelajaran berbasis masalah menyediakan kondisi untuk meningkatkan
keterampilan berpikir kritis dan analitis serta memecahkan permasalahan kompleks dalam kehidupan nyata sehingga akan memunculkan “budaya berpikir” pada diri siswa. Pembelajaran Problem Based Learning mampu meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan berpikir kritis.
Berdasarkan uraian tersebut maka dengan menerapkan model Problem Based Learning (PBL) diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar dan berpikir kritis siswa karena dalam kegiatan belajar nya siswa diajak untuk memecahkan masalah yang mana merupakan usaha untuk mengembangkan kemampuan berpikir siswa. Siswa tidak hanya memahami konsep yang relevan dengan masalah yang menjadi pusat perhatian akan tetapi juga mendapat pengalaman belajar yang berhubungan dengan keterampilan menerapkan metode ilmiah dalam pemecahan masalah dan menumbuhkan pola berpikir kritis siswa.