-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Tag Terpopuler

IMPLEMENTASI AJARAN TRIKON DALAM PEMBELAJARAN KARAWITAN DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0 (SOCIETY 5.0)

Minggu, 30 Juni 2024 | Juni 30, 2024 WIB | 0 Views Last Updated 2024-07-01T02:06:03Z

IMPLEMENTASI AJARAN TRIKON DALAM PEMBELAJARAN KARAWITAN DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0 (SOCIETY 5.0)

By Asnan Wijayanto, Taufiqurrahman, Sigit Ungkowo


Abstrak

Pembelajaran karawitan sebagai seni tradisional Indonesia menghadapi tantangan di era Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0. Penelitian ini mengkaji implementasi Ajaran Trikon Ki Hadjar Dewantara, yang terdiri dari prinsip Kontinuitas, Konvergensi, dan Konsentrisitas, dalam konteks pembelajaran karawitan modern. Metode yang digunakan adalah studi literatur dan analisis konseptual. Hasil penelitian menunjukkan bahwa integrasi Ajaran Trikon dengan teknologi digital dapat menjembatani kesenjangan antara tradisi dan modernitas dalam pembelajaran karawitan. Tantangan utama meliputi ketidakselarasan tradisi-teknologi, keterbatasan sumber daya, dan resistensi terhadap perubahan. Namun, pemanfaatan teknologi seperti digitalisasi materi, simulasi virtual, augmented/virtual reality, platform kolaboratif online, dan gamifikasi dapat mendukung pembelajaran karawitan yang efektif. Penelitian ini menyimpulkan bahwa implementasi Ajaran Trikon yang dipadukan dengan inovasi teknologi berpotensi melestarikan seni karawitan sekaligus mempersiapkan generasi muda menghadapi era digital, dengan rekomendasi pengembangan kurikulum adaptif, peningkatan kompetensi guru, dan kolaborasi lintas disiplin.

BAB I PENDAHULUAN


  1. Latar Belakang

Karawitan merupakan seni tradisional yang memiliki nilai budaya dan sejarah yang tinggi khususnya di Indonesia. Kesenian karawat meliputi berbagai jenis musik gamelan yang dimainkan dengan alat musik tradisional seperti gong, gendang, saron, bonang, dan berbagai alat musik lainnya. Karawitan tidak hanya digunakan untuk hiburan, tetapi juga berperan penting dalam ritual adat, upacara keagamaan, dan berbagai perayaan masyarakat.

Namun seiring berjalannya waktu dan modernisasi, keberadaan Karawitan semakin menghadapi tantangan. Generasi muda cenderung lebih tertarik pada musik modern dan teknologi digital, dan minat terhadap seni tradisional seperti Karawitan semakin menurun. Kurangnya pengetahuan dan pemahaman terhadap nilai seni musik juga menjadi salah satu penyebab menurunnya minat.

Dalam bidang pendidikan, pembelajaran musik di sekolah dan lembaga pendidikan lainnya masih kurang mendapat perhatian. Padahal, mempelajari alat musik memiliki banyak manfaat, antara lain pengembangan karakter, peningkatan kreativitas, serta pemahaman tentang budaya dan jati diri bangsa. Oleh karena itu, penting untuk mengembangkan metode dan strategi pembelajaran alat musik yang efektif dan terus melestarikan dan mewariskan seni ini kepada generasi mendatang.

Ajaran Trikon terdiri dari tiga prinsip utama: kontinuitas, konvergensi, dan konsentris. Prinsip-prinsip tersebut bertujuan agar pendidikan Tamansiswa tidak hanya memenuhi kebutuhan zaman, namun juga menghormati dan melestarikan nilai-nilai budaya lokal. Dalam konteks pendidikan modern, Ajaran Trikon menawarkan pendekatan holistik yang memadukan pengetahuan tradisional dengan inovasi dan perkembangan terkini. Kontinuitas: Prinsip ini menekankan pentingnya kesinambungan dalam pendidikan, baik dalam proses belajar mengajar maupun pelestarian budaya. 

Pendidikan harus mampu menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan secara harmonis. Konvergensi: Ajaran ini mendorong integrasi antara berbagai disiplin ilmu dan pengetahuan. Pendidikan tidak boleh terpecah-pecah dan harus mampu menghubungkan berbagai bidang ilmu sehingga peserta didik dapat memperoleh pemahaman yang komprehensif. Konsentrisitas: Prinsip ini mengutamakan pendidikan berdasarkan potensi dan kebutuhan siswa. Semua siswa dianggap unik dan berhak mendapatkan pendidikan yang disesuaikan dengan karakteristik dan kemampuannya masing-masing.

  1. Rumusan Masalah

Sesuai pada latar belakang diatas sehingga pada makalah ini dapat dirumuskan beberapa masalah antara lain yaitu:

  1. Bagaimana prinsip-prinsip Ajaran Trikon dapat diintegrasikan dalam pembelajaran karawitan di era Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0?

  2. Apa saja tantangan yang dihadapi dalam mengimplementasikan Ajaran Trikon dalam pembelajaran karawitan di era digital dan teknologi tinggi?

  3. Bagaimana teknologi dan inovasi dapat digunakan untuk mendukung pembelajaran karawitan tanpa menghilangkan nilai-nilai tradisional yang terkandung di dalamnya?

  1. Tujuan Penulisan

Sesuai pada rumusan masalah diatas sehingga pada makalah ini dapat
diambil beberapa tujuan antara lain:

  1. Mengidentifikasi dan menganalisis cara-cara untuk mengintegrasikan prinsip-prinsip Ajaran Trikon dalam pembelajaran karawitan di era Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0.

  2. Mengidentifikasi tantangan-tantangan yang dihadapi dalam implementasi Ajaran Trikon dalam pembelajaran karawitan di era modern.

  3. Mengidentifikasi bagaimana teknologi dan inovasi dapat mendukung pembelajaran karawitan sambil tetap mempertahankan nilai-nilai tradisionalnya.

BAB II PEMBAHASAN

  1. Pengertian Karawitan

Karawitan merupakan salah satu bentuk kesenian tradisional Indonesia yang mencakup musik gamelan dan vokal yang dimainkan dengan alat musik tradisional seperti gong, kendang, saron, bonang, dan berbagai instrumen lainnya. Menurut Sumarsam, seorang ahli karawitan dan dosen musik di Wesleyan University, karawitan adalah "seni musik Jawa yang memadukan instrumen perkusi dengan komposisi yang kompleks dan dinamis, mencerminkan harmoni alam dan kehidupan manusia" (Sumarsam, 1995). Seni karawitan telah menjadi bagian integral dari budaya dan kehidupan masyarakat di berbagai daerah di Indonesia, terutama di Jawa, Bali, dan Sunda, dengan nilai-nilai estetika dan filosofis yang mendalam.

Secara historis, karawitan berkembang di lingkungan keraton (istana) dan sering dimainkan dalam berbagai upacara adat, ritual keagamaan, dan acara-acara penting kerajaan. Susan Pratt Walton, dalam bukunya "Mode in Javanese Music," menyatakan bahwa "gamelan memiliki susunan instrumen yang khas dan dimainkan secara ansambel, menciptakan harmoni yang kompleks dan memikat yang menjadi ciri khas budaya keraton" (Walton, 1987). Musik karawitan tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga sebagai sarana pendidikan moral, spiritual, dan sosial. Melalui lagu-lagu dan tembang-tembangnya, karawitan menyampaikan pesan-pesan moral, kisah-kisah sejarah, dan ajaran-ajaran kearifan lokal.

Karawitan juga memiliki unsur vokal yang dikenal dengan istilah "tembang" atau "sindhenan," yang biasanya dibawakan oleh sindhen atau pesinden. Mantle Hood, seorang etnomusikolog ternama, mengungkapkan bahwa "vokal dalam karawitan tidak hanya memperkaya melodi, tetapi juga memperkuat makna dan pesan dari setiap komposisi, menggunakan bahasa kiasan dan simbolis yang dalam" (Hood, 1971). Sindhenan sering kali menggunakan bahasa yang memerlukan pemahaman mendalam tentang budaya dan tradisi lokal untuk dapat diapresiasi sepenuhnya. Ini menunjukkan bahwa karawitan bukan sekadar hiburan, melainkan juga media pembelajaran budaya dan identitas bangsa.

Di era modern ini, karawitan menghadapi berbagai tantangan, terutama dengan hadirnya teknologi dan perubahan selera musik generasi muda. Namun, menurut Rahayu Supanggah, seorang komposer dan ahli karawitan, "upaya untuk melestarikan dan mengembangkan karawitan terus dilakukan melalui berbagai inovasi dalam pembelajaran dan pertunjukan" (Supanggah, 2003). Integrasi Ajaran Trikon dalam pembelajaran karawitan, misalnya, merupakan salah satu langkah untuk memastikan bahwa seni tradisional ini tetap relevan dan diminati oleh generasi muda, tanpa menghilangkan nilai-nilai tradisional yang menjadi esensinya.


  1. Prinsip Ajaran Trikon

Ajaran Trikon, yang merupakan bagian integral dari filosofi pendidikan Tamansiswa yang didirikan oleh Ki Hadjar Dewantara, terdiri dari tiga prinsip utama: Kontinuitas, Konvergensi, dan Konsentrisitas. Ki Hadjar Dewantara menciptakan Ajaran Trikon untuk memastikan bahwa pendidikan di Tamansiswa tidak hanya fokus pada aspek akademis, tetapi juga pada pembentukan karakter dan kepribadian siswa, serta pelestarian budaya lokal. Dalam konteks ini, Ajaran Trikon menawarkan pendekatan holistik yang mengintegrasikan pengetahuan tradisional dengan inovasi dan perkembangan terbaru.

Kontinuitas adalah prinsip pertama dari Ajaran Trikon, yang menekankan pentingnya kesinambungan dalam proses pendidikan. Ki Hadjar Dewantara menyatakan bahwa "pendidikan harus mampu menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan secara harmonis" (Dewantara, 1967). Prinsip ini mengajarkan bahwa pendidikan harus mempertahankan nilai-nilai tradisional dan kearifan lokal sambil tetap membuka diri terhadap perubahan dan inovasi. Dalam konteks pembelajaran karawitan, kontinuitas berarti menjaga dan melestarikan seni karawitan sebagai warisan budaya, sekaligus mengadaptasinya agar tetap relevan dengan perkembangan zaman.

Konvergensi, prinsip kedua dari Ajaran Trikon, mengedepankan integrasi antara berbagai disiplin ilmu dan pengetahuan. Ki Hadjar Dewantara menekankan bahwa "pendidikan tidak boleh terkotak-kotak, melainkan harus mampu menghubungkan berbagai bidang pengetahuan sehingga siswa mendapatkan pemahaman yang menyeluruh" (Dewantara, 1977). Dalam pembelajaran karawitan, konvergensi dapat diwujudkan melalui integrasi teknologi modern dengan teknik dan teori tradisional, menciptakan pendekatan pembelajaran yang komprehensif dan adaptif terhadap kebutuhan siswa di era digital.

Prinsip Konsentrisitas menekankan bahwa pendidikan harus berpusat pada potensi dan kebutuhan siswa. Ki Hadjar Dewantara berpendapat bahwa "setiap siswa dianggap unik dan berhak mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan karakteristik dan kemampuan individualnya" (Dewantara, 1979). Dalam pembelajaran karawitan, konsentrisitas berarti memberikan perhatian khusus pada minat dan bakat setiap siswa dalam seni musik tradisional, serta menyediakan metode pengajaran yang dapat mengembangkan potensi mereka secara maksimal. Hal ini dapat dilakukan dengan menerapkan metode pembelajaran yang interaktif dan personal.

Menurut Paul Pedersen, seorang ahli pendidikan dan psikologi budaya, prinsip-prinsip seperti yang terdapat dalam Ajaran Trikon sangat relevan dalam konteks pendidikan multikultural. Pedersen menyatakan bahwa "pendidikan yang menghargai dan mengintegrasikan nilai-nilai budaya lokal dapat memperkuat identitas siswa dan meningkatkan pemahaman mereka terhadap keberagaman" (Pedersen, 1995). Implementasi Ajaran Trikon dalam pembelajaran karawitan tidak hanya membantu melestarikan seni tradisional, tetapi juga membentuk siswa yang memiliki karakter kuat dan pemahaman yang mendalam tentang budaya mereka sendiri.

Dengan demikian, prinsip-prinsip Ajaran Trikon memberikan landasan yang kuat untuk mengembangkan metode pendidikan yang holistik, inklusif, dan adaptif. Dalam era Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0, integrasi Ajaran Trikon dalam pembelajaran karawitan dapat menjadi model untuk memastikan bahwa seni tradisional tetap relevan dan dapat diapresiasi oleh generasi muda, sambil tetap mempertahankan nilai-nilai budaya yang menjadi esensinya. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan yang menghargai warisan budaya dapat berjalan seiring dengan perkembangan teknologi dan inovasi.

  1. Tantangan dalam Mengimplementasikan Ajaran Trikon Dalam Pembelajaran Karawitan di Era Digital

  1. Ketidakselarasan Antara Tradisi dan Teknologi

Salah satu tantangan utama dalam mengimplementasikan Ajaran Trikon dalam pembelajaran karawitan adalah ketidakselarasan antara nilai-nilai tradisional dan teknologi modern. Kontinuitas, sebagai salah satu prinsip Ajaran Trikon, menekankan pentingnya kesinambungan nilai-nilai tradisional. Namun, generasi muda cenderung lebih tertarik pada teknologi digital daripada seni tradisional seperti karawitan. Menurut Ki Hadjar Dewantara, pendidikan harus menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan secara harmonis (Dewantara, 1967), tetapi menemukan keseimbangan ini dalam konteks era digital menjadi tantangan yang signifikan.


  1. Kurangnya Sumber Daya dan Materi Pembelajaran yang Memadai

Mengintegrasikan prinsip-prinsip Ajaran Trikon dalam pembelajaran karawitan membutuhkan sumber daya yang memadai, termasuk instrumen musik tradisional, materi pembelajaran, dan tenaga pengajar yang kompeten. Di era digital, kebutuhan ini semakin kompleks karena diperlukan juga perangkat teknologi dan platform digital yang mendukung. Banyak sekolah dan lembaga pendidikan menghadapi kendala finansial dan logistik dalam menyediakan sumber daya ini, yang menghambat implementasi Ajaran Trikon secara efektif.


  1. Minimnya Kompetensi Guru dalam Menggunakan Teknologi

Tantangan lainnya adalah minimnya kompetensi guru dalam menggunakan teknologi digital untuk mengajar karawitan. Menurut penelitian oleh Schleicher (2018), banyak guru di negara berkembang merasa kurang percaya diri dalam mengintegrasikan teknologi dalam pengajaran. Padahal, konvergensi, prinsip kedua Ajaran Trikon, mengedepankan integrasi berbagai disiplin ilmu dan teknologi dalam proses pembelajaran. Kurangnya pelatihan dan dukungan bagi guru untuk memanfaatkan teknologi dalam mengajar karawitan dapat menghambat implementasi prinsip ini.


  1. Perubahan Pola Belajar Siswa

Di era digital, pola belajar siswa mengalami perubahan signifikan. Siswa cenderung memiliki rentang perhatian yang lebih pendek dan lebih tertarik pada metode pembelajaran yang interaktif dan visual. Prinsip konsentrisitas dalam Ajaran Trikon mengharuskan pendidikan yang berpusat pada kebutuhan dan potensi individu siswa. Namun, menyesuaikan metode pembelajaran karawitan tradisional dengan kebutuhan dan ekspektasi siswa di era digital memerlukan pendekatan inovatif yang belum sepenuhnya dikembangkan dalam banyak lembaga pendidikan.


  1. Resistensi Terhadap Perubahan

Resistensi terhadap perubahan, baik dari kalangan pendidik maupun masyarakat, juga menjadi tantangan dalam mengimplementasikan Ajaran Trikon. Banyak pendidik dan praktisi seni karawitan yang mungkin skeptis terhadap penggunaan teknologi dalam pembelajaran seni tradisional, khawatir bahwa esensi dan keaslian seni tersebut akan hilang. Menurut Everett Rogers dalam teorinya tentang difusi inovasi (Rogers, 2003), resistensi terhadap perubahan adalah hal yang umum dalam proses adopsi inovasi baru, termasuk dalam konteks pendidikan.

Secara keseluruhan, tantangan-tantangan ini memerlukan pendekatan yang komprehensif dan kolaboratif untuk diatasi. Implementasi Ajaran Trikon dalam pembelajaran karawitan di era digital tidak hanya memerlukan perubahan metodologi, tetapi juga dukungan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, lembaga pendidikan, guru, siswa, dan masyarakat. Dengan demikian, pelestarian seni karawitan dapat berjalan seiring dengan perkembangan teknologi dan inovasi, menjadikan pendidikan seni tradisional lebih relevan dan menarik bagi generasi muda.


  1. Penggunaan Teknologi dan Inovasi Mendukung Pembelajaran Karawitan

  1. Digitalisasi Materi Pembelajaran

Salah satu cara utama teknologi mendukung pembelajaran karawitan adalah melalui digitalisasi materi pembelajaran. Buku-buku teks, notasi musik, dan rekaman audio tradisional dapat diubah menjadi format digital yang lebih mudah diakses. Platform e-learning dan aplikasi pembelajaran musik seperti YouTube, SoundCloud, dan platform khusus musik tradisional memungkinkan siswa untuk belajar karawitan kapan saja dan di mana saja. Menurut Garrison dan Anderson (2003), e-learning menawarkan fleksibilitas dan aksesibilitas yang tidak dimiliki oleh metode pembelajaran konvensional.


  1. Simulasi dan Perangkat Lunak Pembelajaran

Perangkat lunak khusus untuk belajar musik tradisional, seperti Gamelan Studio, menyediakan simulasi instrumen gamelan yang dapat dimainkan secara virtual. Ini memungkinkan siswa untuk mempelajari teknik bermain dan komposisi karawitan tanpa perlu memiliki akses fisik ke alat musik tersebut. Teknologi simulasi ini juga dapat membantu siswa memahami struktur musik karawitan secara lebih mendalam melalui visualisasi interaktif dan latihan praktis.


  1. Augmented Reality (AR) dan Virtual Reality (VR)

Teknologi AR dan VR dapat menciptakan pengalaman belajar yang lebih imersif dan menarik. Misalnya, dengan menggunakan perangkat VR, siswa dapat "mengunjungi" keraton atau tempat-tempat bersejarah yang menjadi pusat perkembangan karawitan. Mereka dapat menyaksikan pertunjukan gamelan dalam lingkungan 3D yang realistis, yang memberikan pengalaman belajar yang mendekati aslinya. Hal ini sejalan dengan prinsip konvergensi dalam Ajaran Trikon, yang mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu dan teknologi dalam pembelajaran.


  1. Platform Kolaboratif Online

Platform kolaboratif seperti Zoom, Google Meet, dan Microsoft Teams memungkinkan guru dan siswa untuk berinteraksi secara langsung meskipun berada di lokasi yang berbeda. Ini sangat bermanfaat dalam pembelajaran karawitan, di mana interaksi langsung dengan guru dan musisi ahli sangat penting. Dengan fitur-fitur seperti video conferencing, screen sharing, dan breakout rooms, guru dapat memberikan bimbingan langsung, mendemonstrasikan teknik bermain, dan mengorganisir latihan kelompok secara efektif.


  1. Media Sosial dan Komunitas Online

Media sosial dan komunitas online juga memainkan peran penting dalam mendukung pembelajaran karawitan. Platform seperti Facebook, Instagram, dan TikTok dapat digunakan untuk berbagi video tutorial, pertunjukan, dan diskusi tentang karawitan. Komunitas online yang didedikasikan untuk karawitan memungkinkan siswa dan penggemar musik tradisional untuk saling berbagi pengetahuan, pengalaman, dan sumber daya. Hal ini membantu membangun jaringan dan komunitas yang lebih luas, yang mendukung pelestarian dan pengembangan seni karawitan.


  1. Gamifikasi dalam Pembelajaran

Mengintegrasikan unsur-unsur permainan dalam pembelajaran, atau gamifikasi, dapat membuat proses belajar karawitan menjadi lebih menarik dan menyenangkan. Aplikasi belajar musik yang menggunakan elemen gamifikasi seperti penghargaan, tantangan, dan level, dapat memotivasi siswa untuk berlatih lebih giat dan terus meningkatkan keterampilan mereka. Menurut Lee dan Hammer (2011), gamifikasi dalam pendidikan dapat meningkatkan keterlibatan dan motivasi siswa secara signifikan.

Secara keseluruhan, penggunaan teknologi dan inovasi dalam pembelajaran karawitan dapat mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi dalam mengajarkan seni tradisional di era digital. Dengan memanfaatkan teknologi ini, prinsip-prinsip Ajaran Trikon dapat diimplementasikan secara efektif, menjadikan pembelajaran karawitan lebih relevan, menarik, dan dapat diakses oleh generasi muda. Ini tidak hanya membantu melestarikan seni karawitan, tetapi juga memastikan bahwa warisan budaya ini terus berkembang dan diapresiasi di masa depan.

BAB III PENUTUP

  1. Kesimpulan

Implementasi Ajaran Trikon dalam pembelajaran karawitan di era Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0 menghadirkan berbagai peluang dan tantangan. Ajaran Trikon, yang terdiri dari prinsip Kontinuitas, Konvergensi, dan Konsentrisitas, menawarkan pendekatan yang holistik dalam pendidikan yang mengintegrasikan nilai-nilai tradisional dengan inovasi teknologi. Meskipun ada tantangan seperti ketidakselarasan antara tradisi dan teknologi, kurangnya sumber daya, serta resistensi terhadap perubahan, penggunaan teknologi dan inovasi dapat mendukung pembelajaran karawitan secara signifikan. Digitalisasi materi pembelajaran, penggunaan perangkat lunak dan simulasi, teknologi AR dan VR, platform kolaboratif online, media sosial, dan gamifikasi semuanya dapat membuat pembelajaran karawitan lebih menarik dan relevan bagi generasi muda. Dengan demikian, Ajaran Trikon dapat membantu menjaga kelestarian seni karawitan sekaligus menyiapkan siswa untuk menghadapi tantangan dan peluang di era digital.

  1. Saran

  1. Pengembangan Kurikulum yang Adaptif

Lembaga pendidikan dan pemerintah harus mengembangkan kurikulum yang mengintegrasikan Ajaran Trikon dengan teknologi digital, memastikan bahwa pendidikan karawitan tetap relevan dan menarik bagi siswa di era modern.

  1. Penyediaan Sumber Daya dan Pelatihan

Penting untuk menyediakan sumber daya yang memadai, termasuk perangkat teknologi dan materi pembelajaran digital, serta pelatihan bagi guru untuk meningkatkan kompetensi mereka dalam menggunakan teknologi dalam pembelajaran karawitan.

  1. Kolaborasi dengan Ahli Teknologi dan Seni

Lembaga pendidikan harus menjalin kolaborasi dengan ahli teknologi dan seni untuk mengembangkan perangkat lunak, aplikasi, dan platform digital yang dapat mendukung pembelajaran karawitan dengan efektif.

  1. Mendorong Partisipasi Komunitas

Masyarakat dan komunitas seni harus didorong untuk berpartisipasi aktif dalam pelestarian dan pengembangan karawitan, termasuk melalui media sosial dan komunitas online, untuk memperluas jaringan dan mendukung pembelajaran.

  1. Inovasi dalam Metode Pengajaran

Guru harus mengadopsi metode pengajaran yang inovatif dan interaktif, seperti gamifikasi dan penggunaan teknologi AR/VR, untuk meningkatkan keterlibatan dan motivasi siswa dalam belajar karawitan.

  1. Evaluasi dan Penelitian Berkelanjutan

Penelitian dan evaluasi berkelanjutan diperlukan untuk menilai efektivitas implementasi Ajaran Trikon dalam pembelajaran karawitan dan untuk mengidentifikasi area yang memerlukan perbaikan atau inovasi lebih lanjut.

Dengan langkah-langkah ini, implementasi Ajaran Trikon dalam pembelajaran karawitan dapat berjalan lebih efektif, membantu melestarikan warisan budaya sambil mempersiapkan generasi muda untuk menghadapi tantangan dan peluang di era Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0.


DAFTAR PUSTAKA

Pratiwi, Inggit, dan Artika Artika. “Relevansi filsafat Ki Hajar Dewantara dalam pendidikan matematika di era evolusi industri 4.0 (Society 5.0).” Jurnal Multidisiplin Indonesia 2.9 (2023): 2738-2748.

Dewantara, K. H. (1967). Karya Ki Hadjar Dewantara bagian pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

Dewantara, K. H. (1977). Karya Ki Hadjar Dewantara bagian kedua: Kebudayaan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

Dewantara, K. H. (1979). Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

Garrison, D. R., & Anderson, T. (2003). E-learning in the 21st century: A framework for research and practice. London: Routledge.

Hood, M. (1971). The ethnomusicologist. New York: McGraw-Hill.

Lee, J. J., & Hammer, J. (2011). Gamification in education: What, how, why bother? Academic Exchange Quarterly, 15(2), 146.

Pedersen, P. (1995). The five stages of culture shock: Critical incidents around the world. Westport, CT: Greenwood Press.

Pratiwi, I., & Artika, A. (2023). Relevansi filsafat Ki Hajar Dewantara dalam pendidikan matematika di era evolusi industri 4.0 (Society 5.0). Jurnal Multidisiplin Indonesia, 2(9), 2738-2748.

Rogers, E. M. (2003). Diffusion of innovations (5th ed.). New York: Free Press.

Schleicher, A. (2018). World class: How to build a 21st-century school system. Paris: OECD Publishing.

Sumarsam. (1995). Gamelan: Cultural interaction and musical development in central Java. Chicago: University of Chicago Press.

Supanggah, R. (2003). Bothekan karawitan I. Jakarta: Ford Foundation & Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.

Walton, S. P. (1987). Mode in Javanese music. Athens: Ohio University Center for International Studies.



×
Berita Terbaru Update