MEWUJUDKAN PENDIDIKAN INKLUSIF DAN MANFAAT BAGI SISWA DENGAN BERAGAM KEMAMPUAN
Dianisa Sri Rejeki
Pendidikan Guru Sekolah Dasar
Umiversitas Sarjanawiyata Tamansiswa
PENDAHULUAN
Pendidikan di Indonesia menghadapi berbagai masalah, mulai dari memberantas buta huruf dan angka putus sekolah yang tinggi, hingga kenakalan remaja dan ketidaksetaraan kesempatan pendidikan. Padahal, pendidikan adalah hak asasi manusia yang mendasar, dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Kedua undang-undang ini menegaskan bahwa negara wajib memberikan jaminan penuh kepada semua anak, termasuk anak berkebutuhan khusus (ABK), untuk mendapatkan kesempatan dan layanan pendidikan berkualitas yang setara dengan siswa lainnya. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 pasal 5 ayat 1 secara eksplisit menyatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Oleh karena itu, semua anak, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan khusus seperti tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, kesulitan belajar, dan autisme, berhak atas pendidikan yang dapat menjamin kehidupan dan masa depan mereka, tanpa adanya diskriminasi dalam dunia pendidikan.
Pendidikan inklusif hadir sebagai upaya pemerataan dan perwujudan pendidikan tanpa diskriminasi, yang memungkinkan anak berkebutuhan khusus (ABK) dan anak-anak pada umumnya untuk memperoleh pendidikan yang setara. Model pendidikan ini mengintegrasikan ABK ke dalam kelas reguler bersama teman-teman seusianya, dengan tujuan mengakomodasi keunikan dan kebutuhan belajar mereka. Lingkungan belajar inklusif diciptakan agar menyenangkan, ramah, dan mampu meningkatkan kepercayaan diri ABK untuk mendapatkan pendidikan yang layak sesuai dengan hak mereka. Keberhasilan pendidikan inklusif sangat bergantung pada kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan pihak sekolah. Dalam implementasinya, ABK tidak diberikan perlakuan khusus atau hak istimewa, melainkan diperlakukan setara dengan siswa lainnya dalam hal hak dan kewajiban. Kerja sama yang baik dari berbagai pihak, terutama orang tua, sangat krusial karena pendidikan inklusif merupakan konsep baru bagi banyak pihak. Diharapkan, implementasi pendidikan inklusif ini dapat membentuk generasi mendatang yang memiliki pemahaman dan penerimaan terhadap perbedaan, sehingga mampu mencegah terjadinya diskriminasi dalam kehidupan bermasyarakat.
Implementasi pendidikan inklusif memiliki urgensi yang tinggi karena memberikan kesempatan yang setara bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) untuk mendapatkan pendidikan tanpa diskriminasi. Model pendidikan ini dianggap sebagai metode belajar yang ideal untuk semua anak. Selain memberikan manfaat bagi ABK, pendidikan inklusif juga melatih siswa reguler dalam beradaptasi dan bersosialisasi dengan beragam karakteristik teman sekelasnya. Dengan demikian, kelas inklusif menjadi wadah penting bagi interaksi sosial antar siswa dengan latar belakang yang berbeda. Lebih lanjut, pendidikan inklusif menanamkan pemahaman, pengertian, dan penerimaan terhadap perbedaan pada siswa non-ABK, mengajarkan mereka nilai-nilai toleransi dan inklusivitas.
Anak berkebutuhan khusus (ABK) didefinisikan sebagai anak yang mengalami perbedaan signifikan dalam pertumbuhan dan perkembangannya, baik secara fisik, mental, intelektual, sosial, maupun emosional, dibandingkan dengan anak seusianya, sehingga memerlukan layanan pendidikan yang spesifik (Departemen Pendidikan Nasional, 2009). Apabila ABK diintegrasikan ke sekolah reguler dengan kurikulum nasional tanpa adanya dukungan layanan pendidikan khusus, mereka berpotensi mengalami kesulitan dalam memahami materi pelajaran. Situasi ini dapat meningkatkan risiko tidak naik kelas atau bahkan putus sekolah, yang pada akhirnya menghilangkan kesempatan mereka untuk mendapatkan pendidikan. Oleh karena itu, kegiatan pembelajaran dalam konteks pendidikan inklusif memerlukan perencanaan, pengaturan, dan pelaksanaan yang efektif.
KAJIAN TEORI
Pengertian Pendidikan Inklusif
Pendidikan inklusif dipandang sebagai cara yang inovatif dan strategis untuk memperluas kesempatan pendidikan bagi seluruh anak berkebutuhan khusus, termasuk anak penyandang disabilitas. Esensinya, pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang menggabungkan anak-anak berkebutuhan khusus dengan anak-anak pada umumnya dalam satu lingkungan belajar. Sebagaimana diungkapkan oleh Hildegun Olsen (dalam Tarmansyah, 2007: 82), pendidikan inklusif berarti bahwa sekolah harus mampu mengakomodasi semua anak tanpa memandang perbedaan kondisi fisik, intelektual, sosial emosional, bahasa, atau kondisi lainnya. Ini mencakup anak-anak penyandang disabilitas, anak berbakat, anak jalanan, anak pekerja, anak-anak dari daerah terpencil atau yang berpindah-pindah, anak-anak dari kelompok etnis, bahasa, atau budaya minoritas, serta anak-anak dari kelompok atau wilayah yang kurang beruntung atau terpinggirkan.
Selanjutnya, Staub dan Peck mendefinisikan pendidikan inklusi sebagai praktik menempatkan anak-anak dengan berbagai tingkat kelainan, mulai dari ringan hingga berat, secara penuh di kelas reguler. Pandangan ini menegaskan bahwa kelas reguler adalah lingkungan belajar yang sesuai untuk semua anak berkelainan, terlepas dari jenis maupun tingkat kelainannya (Tarmansyah, 2007: 82).
Senada dengan itu, Sapon-Shevin menyatakan bahwa pendidikan inklusi adalah sistem layanan pendidikan yang mengharuskan semua anak berkelainan untuk dididik di sekolah terdekat mereka, dalam kelas reguler bersama teman-teman seusianya. Hal ini menekankan perlunya perubahan mendasar pada sekolah agar menjadi komunitas yang mendukung pemenuhan kebutuhan khusus setiap anak. Untuk mencapai hal ini, diperlukan sumber belajar yang memadai serta dukungan dari seluruh elemen, termasuk siswa, guru, orang tua, dan masyarakat sekitar (Direktorat Pendidikan Luar Biasa, 2004: 8-10).
Model Pendidikan Inklusif
Wijaya (2019: 26-27) mengemukakan beberapa model pendidikan inklusif yang bisa digunakan sesuai kebutuhan peserta didik masing- masing.
Pertama, Model kelas reguler atau inklusif penuh mengintegrasikan secara utuh anak berkebutuhan khusus (ABK), seperti tunadaksa, tunanetra, atau tunarungu yang tidak memiliki gangguan intelektual, untuk belajar bersama anak-anak reguler di dalam kelas yang sama. Dengan kata lain, model ini merupakan bentuk penggabungan antara siswa ABK dan siswa tanpa kebutuhan khusus dalam satu lingkungan pembelajaran.
Kedua, model cluster. anak berkebutuhan khusus (ABK) ditempatkan dalam kelompok terpisah di dalam kelas reguler. Meskipun semua siswa, baik ABK maupun non-ABK, belajar bersama, ABK memerlukan bimbingan khusus dari guru atau pendamping. Tujuannya adalah agar ABK dapat memahami materi pelajaran seefektif siswa reguler lainnya.
Ketiga, model pull out. Dalam model ini, anak berkebutuhan khusus (ABK) belajar di kelas khusus untuk mata pelajaran tertentu dengan didampingi oleh guru yang memiliki keahlian khusus. Meskipun ABK berinteraksi dan belajar bersama siswa reguler di kelas biasa, mereka juga ditarik keluar dari kelas reguler pada waktu-waktu tertentu untuk mendapatkan layanan pendidikan yang lebih spesifik sesuai dengan kebutuhan individual mereka..
Keempat, model cluster dan pull out. Model ini merupakan kombinasi dari model klaster dan model pull-out. Dalam implementasinya, anak berkebutuhan khusus (ABK) belajar di kelas reguler dengan didampingi oleh pendamping khusus. Namun, pada waktu-waktu tertentu, mereka akan dipindahkan ke kelas lain untuk menerima layanan khusus yang disesuaikan dengan kebutuhan individual mereka.
Kelima, model kelas khusus. Model ini tidak bertujuan untuk memisahkan siswa, melainkan sekolah menyediakan kelas khusus bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) hanya untuk beberapa mata pelajaran tertentu. Sementara itu, untuk mata pelajaran lainnya, semua siswa, termasuk ABK, bergabung dan belajar bersama di kelas reguler. Artinya, pada waktu-waktu tertentu, ABK berintegrasi dengan siswa reguler dalam kegiatan pembelajaran.
Keenam, model khusus penuh. Model ini, yang disebut sebagai model segregasi, adalah sistem di mana sekolah menyediakan ruang kelas yang terpisah khusus untuk anak berkebutuhan khusus (ABK). Dalam model ini, ABK belajar bersama dengan siswa lain yang juga memiliki kebutuhan khusus, tanpa adanya integrasi dengan siswa reguler di dalam kelas tersebut. Dengan kata lain, kelas hanya terdiri dari peserta didik berkebutuhan khusus.
Peserta Didik Berkebutuhan Khusus dan Klasifikasinya
UU Nomor 8 Tahun 2016 Pasal 4 menyebutkan bahwa ragam penyandang disabilitas meliputi, (a) disabilitas fisik, (b) disabilitas intelektual, (c) disabilitas mental, dan/atau (d) disabilitas sensorik. Pasal 4 ayat (2) disebutkan bahwa ragam penyandang disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dialami secara tunggal, ganda, atau multi dalam jangka waktu lama yang ditetapkan oleh tenaga medis sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
1. Disabilitas fisik
Individu dengan disabilitas fisik adalah mereka yang mengalami hambatan dalam fungsi geraknya, yang dapat disebabkan oleh kondisi seperti amputasi, berbagai jenis kelumpuhan, cerebral palsy (CP), stroke, kusta, atau perawakan tubuh yang sangat kecil. Menurut Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009, kelompok ini disebut sebagai tunadaksa. Anak-anak yang memiliki kondisi tunadaksa, yang ditandai dengan kelainan atau cacat permanen pada organ gerak (melibatkan tulang, otot, dan sendi) serta sistem saraf pusat, memerlukan adaptasi dalam layanan pendidikannya. Beberapa karakteristik yang dapat menjadi petunjuk adanya tunadaksa pada anak meliputi anggota tubuh bagian gerak yang terasa kaku, lemah, atau bahkan lumpuh; adanya kesulitan dalam melakukan gerakan yang seharusnya sempurna, lentur, atau terkontrol; terdapat bagian anggota gerak yang tidak utuh, tidak sempurna perkembangannya, atau berukuran lebih kecil dari biasanya; adanya kelainan bentuk atau kerusakan pada alat gerak; jari-jari tangan yang kaku sehingga sulit untuk menggenggam benda; kesulitan dalam aktivitas berdiri, berjalan, atau duduk, yang seringkali disertai dengan postur tubuh yang tidak normal; serta kemungkinan menunjukkan perilaku hiperaktif atau kesulitan untuk tetap tenang.
2. Disabilitas intelektual
Penyandang disabilitas intelektual adalah individu yang mengalami gangguan pada kemampuan berpikirnya yang disebabkan oleh tingkat kecerdasan yang berada di bawah rata-rata, termasuk di antaranya adalah kondisi lambat belajar, disabilitas grahita, dan Down syndrome. Dalam Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif dan PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan dan Pengelolaan Pendidikan, istilah yang digunakan untuk kondisi ini adalah tunagrahita. Tunagrahita diartikan sebagai kondisi seorang anak yang mengalami hambatan atau keterlambatan dalam perkembangan mentalnya, yang disertai dengan ketidakmampuan untuk belajar dan menyesuaikan diri dengan lingkungannya secara signifikan, sehingga membutuhkan penyesuaian dalam layanan pendidikannya. Beberapa ciri yang sering ditemukan pada anak tunagrahita adalah penampilan fisik yang tidak seimbang, misalnya ukuran kepala yang terlalu kecil atau terlalu besar; kesulitan dalam melakukan perawatan diri sesuai dengan usia perkembangannya; keterlambatan dalam perkembangan kemampuan bicara dan bahasa; kurangnya atau tidak adanya minat terhadap lingkungan sekitarnya; kesulitan dalam beradaptasi dan berinteraksi sosial dengan orang-orang di sekitarnya; koordinasi gerakan tubuh yang kurang baik dan seringkali tidak terkendali; sering mengeluarkan air liur; kemampuan akademik yang terbatas, meskipun mungkin dapat membaca, menulis, dan berhitung sederhana namun mengalami kesulitan untuk naik kelas secara berurutan; serta ketidakmampuan untuk memahami konsep-konsep abstrak.
3. Disabilitas mental
Penyandang disabilitas mental adalah individu yang mengalami gangguan pada kemampuan berpikir, merasakan emosi, dan berperilaku. Kondisi ini dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu gangguan psikososial yang mencakup skizofrenia, gangguan bipolar, depresi, gangguan kecemasan, dan gangguan kepribadian, serta disabilitas perkembangan yang berdampak pada kemampuan berinteraksi sosial, seperti autisme dan hiperaktif. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menjelaskan bahwa anak dengan autisme atau peserta didik yang memiliki hambatan dalam komunikasi dan interaksi sosial mengalami masalah dalam berinteraksi, berkomunikasi, berperilaku, dan berbahasa, sehingga memerlukan layanan pendidikan yang disesuaikan dengan kebutuhan mereka. Lebih lanjut, anak dengan hiperaktif atau peserta didik yang mengalami hambatan emosi dan sosial menunjukkan adanya gangguan dalam aspek sosial dan emosional yang menyebabkan mereka sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan dan seringkali bertindak tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat, yang juga mengindikasikan perlunya penyesuaian dalam layanan pendidikan mereka.
Autisme.
Anak dengan autisme sering menunjukkan perilaku khas seperti perubahan emosi tanpa alasan jelas, preferensi makanan yang sangat terbatas, gerakan berulang (misalnya mengayun tangan atau memutar badan), minat yang sangat spesifik pada objek atau topik tertentu, perilaku menyakiti diri sendiri, bahasa dan gerakan tubuh yang kaku, serta kesulitan tidur. Mereka juga memiliki masalah komunikasi, termasuk kesulitan bicara, menulis, membaca, dan memahami bahasa isyarat, serta sering mengulang kata, berbicara dengan nada aneh, atau mengalami tantrum. Dalam bersosialisasi, anak autis cenderung asyik dengan dunianya sendiri, kurang responsif terhadap emosi diri dan orang lain, sehingga sulit berteman, bermain bersama, berbagi, atau fokus pada pelajaran di sekolah.
b. Hiperaktif.
Hiperaktif adalah kondisi di mana anak terus-menerus aktif tanpa memperhatikan waktu, situasi, dan lingkungan sekitar. Beberapa tandanya meliputi berlari dan berteriak di dalam ruangan, berdiri dan berjalan saat guru berbicara, bergerak cepat hingga menabrak, bermain kasar hingga melukai, bicara tanpa henti, sering mengganggu, bergerak meski duduk, gelisah dan ingin meraih mainan, serta kesulitan fokus dan duduk diam saat makan atau bermain. Kondisi ini menyebabkan kurangnya konsentrasi dan masalah dalam berinteraksi dengan orang lain.
4. Disabilitas sensorik
Individu dengan disabilitas sensorik mengalami gangguan pada salah satu fungsi dari lima indra utama, yang meliputi gangguan penglihatan (dikenal sebagai disabilitas netra), gangguan pendengaran (dikenal sebagai disabilitas rungu), dan/atau gangguan kemampuan berbicara (dikenal sebagai disabilitas wicara). Dalam konteks peraturan perundang-undangan pendidikan di Indonesia, yaitu Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang Penyandang Disabilitas dan PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan dan Pengelolaan Pendidikan, istilah tunanetra digunakan untuk merujuk pada disabilitas netra, dan istilah tunarungu digunakan untuk merujuk pada disabilitas rungu.
a. Tunanetra
Tunanetra adalah individu dengan gangguan atau tidak berfungsinya indera penglihatan, yang bahkan tidak dapat melihat gerakan tangan dari jarak kurang dari satu meter (ketajaman penglihatan 20/200 kaki atau hanya mampu melihat benda pada jarak 20 kaki dengan bidang pandang maksimal 20 derajat menurut Heward & Orlansky, 1988). Dalam pendidikan, anak tunanetra berat memerlukan pembelajaran membaca melalui huruf Braille atau metode auditory seperti audiotape. Sementara itu, anak dengan gangguan penglihatan sebagian dapat membaca dengan alat pembesar atau huruf yang diperbesar (Hallahan & Kauffman). Dari segi perilaku, karakteristik tunanetra meliputi menggosok mata berlebihan, menutup/melindungi satu mata, memiringkan/mencondongkan kepala, kesulitan membaca atau tugas visual, berkedip lebih sering atau mudah marah saat bekerja, mendekatkan buku ke mata, kesulitan melihat objek jauh, menyipitkan mata/mengerutkan dahi, kurang tertarik pada objek/tugas visual, canggung dalam permainan koordinasi tangan-mata, menghindari tugas visual jarak jauh, dan sering mengeluh tentang masalah penglihatan.
b. Tunarungu
Anak dengan kehilangan pendengaran, baik sebagian maupun seluruhnya, tetap memerlukan penyesuaian pendidikan meskipun menggunakan alat bantu dengar. Tunarungu diklasifikasikan menjadi kurang dengar (kehilangan ≤ 90 dB) dan tuli (kehilangan > 90 dB). Dalam aspek sosial-emosional, anak tunarungu cenderung memiliki pergaulan terbatas, egosentrisme tinggi, rasa takut/khawatir, sulit mengalihkan perhatian pada hal yang disukai, bersifat polos dengan emosi ekstrem, serta mudah marah/tersinggung karena kesulitan komunikasi. Secara fisik, mereka mungkin berjalan kaku dan membungkuk (jika ada gangguan keseimbangan telinga dalam), memiliki gerakan mata dan tangan yang cepat/lincah, serta pernapasan pendek, namun umumnya tidak berbeda dengan orang normal dalam hal kesehatan.
5. Peserta didik cerdas istimewa dan berbakat
Yang dimaksud dengan anak yang memiliki kemampuan unggul adalah mereka yang menunjukkan potensi luar biasa dan mencapai prestasi yang secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan anak-anak lain seusia mereka, baik dalam bidang pembelajaran formal (akademik) maupun di luar kegiatan belajar (non-akademik). Kondisi ini menuntut adanya modifikasi dalam layanan pendidikan yang diberikan agar sesuai dengan kebutuhan dan potensi mereka.
6. Peserta didik dengan hambatan majemuk
Yang dimaksud dengan mereka yang mempunyai kelainan lebih dari satu adalah individu yang didiagnosis memiliki beberapa kondisi atau jenis disabilitas yang berbeda secara bersamaan, sehingga memerlukan modifikasi dan adaptasi dalam layanan pendidikan yang mereka terima agar dapat belajar dan berkembang secara optimal.
4. Media Pembelajaran Khusus Anak ABK Sesuai Klasifikasinya
Anak tunagrahita yang mengalami kesulitan belajar dapat terbantu dengan media pembelajaran visual dan taktil seperti bentuk geometri 3D, balok bertingkat, silinder, menara gelang, berbagai puzzle (bola, konstruksi, binatang), alat bantu multi-indra, permainan konsentrasi mekanik, kotak dan kartu bilangan, kartu huruf dan kalimat, kotak huruf serat, papan keseimbangan, sempoa, serta papan bilangan.
Anak-anak dengan gangguan penglihatan memerlukan media belajar yang berbeda tergantung pada kondisi mereka. Bagi yang buta total dan low vision, pilihan medianya antara lain mikroskop, televisi, alat pembesar, dan vies scan. Sedangkan untuk anak yang sepenuhnya buta, media seperti radio, rekaman audio, peta taktil, penggaris braille, kotak sortir warna, dan tape recorder lebih efektif.
Anak-anak dengan gangguan pendengaran dapat belajar secara efektif menggunakan media visual dan taktil seperti kartu huruf, kartu kalimat, foto, abjad jari (finger alphabet), torso setengah badan, miniatur benda, peta dinding, globe, bentuk silinder, model geometri, puzzle konstruksi, menara segitiga, dan menara gelang.
Anak-anak dengan autisme dapat belajar dengan baik menggunakan media visual dan interaktif seperti kartu huruf, kartu kata, kartu angka, kartu terapi wicara, berbagai jenis puzzle, permainan konsentrasi mekanik, dan menara segitiga.
Anak-anak yang mengalami kesulitan belajar seperti disleksia, disgrafia, dan diskalkulia memerlukan media pembelajaran yang spesifik. Kartu abjad, kartu kata, dan kartu kalimat efektif untuk disleksia. Disgrafia dapat didukung dengan balok bilangan serta kartu abjad, kata, dan kalimat. Sedangkan diskalkulia cocok dengan pias angka, kotak bilangan, dan balok bilangan (Putra, 2022).
PEMBAHASAN
Implementasi Pendidikan inklusif di Indonesia
Awal mula pendidikan inklusif di Indonesia ditandai dengan perjuangan siswa tunanetra di Bandung pada dekade 1960-an. Didukung oleh organisasi tunanetra sebagai kelompok advokasi, mereka menuntut akses pendidikan yang lebih tinggi. Mengingat keterbatasan layanan SLB tunanetra yang hanya sampai SMP, para pemuda tunanetra berupaya keras untuk masuk SMA umum, meskipun menghadapi penolakan. Namun, berkat kegigihan mereka, perlahan pandangan masyarakat terhadap disabilitas berubah, dan beberapa SMA mulai menerima siswa tunanetra.
Pemerintah Indonesia mulai memberikan perhatian pada pendidikan integrasi pada akhir dekade 1970-an dengan menggandeng Helen Keller International, Inc. untuk mengembangkan sekolah yang mengintegrasikan siswa berkebutuhan khusus. Hasil positif dari kolaborasi ini membuahkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan nomor 002/U/1986. Keputusan ini mengamanatkan bahwa anak-anak penyandang disabilitas yang memiliki potensi harus diberi peluang untuk belajar di sekolah umum bersama teman-teman mereka yang tidak memiliki disabilitas. Sayangnya, setelah berakhirnya proyek percontohan tersebut, implementasi pendidikan integrasi tidak berjalan optimal, terutama di tingkat sekolah dasar.
Pada periode menjelang akhir tahun 1990-an, muncul kembali dorongan untuk mengembangkan pendidikan inklusif. Hal ini diwujudkan melalui proyek kerjasama antara Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dan pemerintah Norwegia, yang berada di bawah pengelolaan Braillo Norway dan Direktorat Pendidikan Luar Biasa (PLB). Sebagai pelajaran dari implementasi program pendidikan integrasi sebelumnya yang kurang berhasil dan hampir menghilang, fokus utama dalam inisiatif baru ini adalah pada aspek keberlanjutan dari program implementasi pendidikan inklusif.
Untuk itu, strategi yang diambil adalah sebagai berikut.
1. Diseminasi ideologi pendidikan inklusif melalui berbagai seminar dan lokakarya;
2. Mengubah peranan SLB yang ada agar menjadi pusat sumber untuk mendukung sekolah inklusif (dengan alat bantu mengajar, materi ajar, metodologi, dsb.); Penataran/pelatihan bagi guru-guru SLB maupun guru-guru reguler untuk memungkinkan mereka memberikan layanan yang lebih baik kepada anak berkebutuhan kusus dalam setting inklusi;
3. Reorientasi pendidikan guru did LPTK dan keterlibatan universitas dalam program tersebut;
4. Desentralisasi pembuatan keputusan untuk memberikan lebih banyak peran kepada pemerintah daerah dalam implementasi pendidikan inklusif;
5. Mendorong dan memfasilitasi pembentukan kelompok-kelompok kerja untuk mempromosikan implementasi pendidikan inklusif;
6. Keterlibatan LSM dan organisasi internasional dalam program ini;
7. Menjalin jejaring antar berbagai pihak terkait;
8. Mengembangkan sekolah inklusif perintis
9. Pembukaan program magister dalam bidang inklusi dan pendidikan kebutuhan khusus
Perkembangan Pendidikan Inklusif
Antusiasme masyarakat terhadap implementasi pendidikan inklusif semakin tinggi, seiring dengan bertambahnya jumlah sekolah yang menerapkannya. Bahkan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 telah mendorong pendidikan inklusif hingga tingkat universitas, yang terbukti dengan munculnya Pusat Layanan Disabilitas di berbagai universitas di Indonesia. Hal ini menunjukkan kemajuan positif dalam layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Meskipun demikian, pemerintah tidak boleh mengabaikan berbagai program implementasi pendidikan inklusif yang krusial, seperti aksesibilitas, pemerataan, dan ketersediaan tenaga ahli.
Tujuan utama awal penerapan pendidikan inklusif adalah untuk memperkecil jurang partisipasi wajib belajar bagi anak berkebutuhan khusus di daerah-daerah terpencil.
Tujuan Pendidikan Inklusif
Pendidikan inklusif memiliki beberapa tujuan utama yang mendorong implementasinya di seluruh dunia. Tujuan-tujuan ini mewakili prinsip-prinsip inklusi, kesetaraan, dan hak asasi manusia dalam konteks pendidikan. Berikut adalah beberapa tujuan penting dari pendidikan inklusif:
Menghapus Diskriminasi: Salah satu tujuan utama pendidikan inklusif adalah untuk menghilangkan segala jenis perlakuan diskriminatif terhadap siswa berkebutuhan khusus atau siswa yang memerlukan dukungan pendidikan khusus. Pendidikan harus menjadi hak yang dapat dinikmati oleh setiap individu tanpa adanya pengecualian.
Kesetaraan: Pendidikan inklusif bertujuan untuk mewujudkan kesamaan hak di antara seluruh siswa. Setiap siswa, termasuk mereka yang memiliki disabilitas, memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang setara dengan teman-teman seusianya.
Mengintegrasikan Siswa: Pendidikan inklusif berupaya untuk menyatukan siswa dengan beragam kebutuhan ke dalam lingkungan belajar yang sama dengan siswa pada umumnya. Hal ini bertujuan untuk menciptakan interaksi sosial yang lebih positif dan integrasi yang lebih baik dalam kehidupan bermasyarakat.
Mendorong Kolaborasi: Tujuan penting lainnya dari pendidikan inklusif adalah untuk mendorong kerja sama yang erat antara guru, siswa, orang tua, dan para ahli di bidang pendidikan. Kolaborasi ini esensial dalam menciptakan suasana belajar yang inklusif dan suportif, sehingga setiap siswa merasa didukung untuk mengembangkan potensi maksimalnya.
Persiapan untuk Kehidupan yang Lebih Baik: Melalui pendidikan inklusif, siswa berkebutuhan khusus dibekali agar mampu berperan aktif dalam masyarakat dan meraih kualitas hidup yang lebih baik setelah lulus sekolah. Mereka mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan kemampuan sosial, akademis, serta keterampilan yang berguna dalam kehidupan sehari-hari.
Penciptaan Masyarakat yang Inklusif: Selain berfokus pada aspek pendidikan, pendidikan inklusif juga memiliki tujuan untuk membentuk masyarakat yang lebih inklusif secara menyeluruh. Hal ini diwujudkan melalui upaya menghilangkan pandangan negatif (stigma), meningkatkan pemahaman (kesadaran), dan menghargai perbedaan (keberagaman) dalam interaksi sehari-hari.
Memenuhi Hak Asasi Manusia: Pendidikan inklusif berlandaskan pada prinsip bahwa pendidikan adalah hak fundamental setiap manusia. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa hak ini dihormati dan dipenuhi bagi semua orang, tanpa terkecuali kondisi pribadi mereka.
Perbaikan Kualitas Pendidikan: Melalui pendidikan inklusif, diharapkan pemerataan dan peningkatan mutu pendidikan dapat tercapai. Dengan mempertimbangkan keberagaman setiap siswa dalam hal metode pengajaran dan penyediaan sumber daya, pendidikan dapat menjadi lebih adaptif terhadap kebutuhan belajar masing-masing individu.
Manfaat Pendidikan Inklusif
Menurut Dedy Kustawan 2012 manfaat pendidikan inklusi yaitu: 1) Manfaat pendidikan inklusif bagi peserta didik
a) Manfaat pendidikan inklusif bagi peserta didik berkebutuhan khusus
Bagi peserta didik berkebutuhan khusus, pendidikan inklusif menumbuhkan rasa percaya diri dan memberikan kesempatan untuk beradaptasi serta mempersiapkan diri menghadapi kehidupan di lingkungan masyarakat luas. Mereka terhindar dari stigma atau label negatif, memiliki pemahaman yang lebih baik terhadap materi pelajaran, dan mampu mengembangkannya. Selain itu, pendidikan inklusif mendorong kemandirian, kemampuan beradaptasi, keaktifan, dan penghargaan terhadap perbedaan. Mereka juga memperoleh kesempatan alami untuk bersosialisasi dan berbagi pengalaman dengan teman-teman reguler, yang memberikan kontribusi positif yang signifikan dalam berbagai aspek kehidupan mereka..
b) Manfaat pendidikan inklusif bagi peserta didik pada umumnya
Bagi peserta didik pada umumnya, pendidikan inklusif memberikan kesempatan untuk belajar tentang keunikan, kelebihan, dan keterbatasan yang dimiliki teman-temannya. Mereka akan lebih memahami perbedaan dan persamaan antar individu. Selain itu, pendidikan inklusif menumbuhkan rasa kepedulian terhadap teman-teman berkebutuhan khusus. Peserta didik reguler juga akan mengembangkan keterampilan sosial, kemampuan berempati terhadap kesulitan yang dihadapi teman-teman ABK, serta terdorong untuk saling membantu, baik kepada teman ABK maupun teman reguler lainnya yang mengalami kesulitan.
2) Manfaat pendidikan inklusif bagi guru
Pendidikan inklusif memberikan tantangan positif bagi guru untuk meningkatkan kualitas pengajaran dan mengakomodasi seluruh siswa. Hal ini mendorong guru untuk memperluas pemahaman mereka tentang beragam karakteristik peserta didik. Guru menjadi lebih kreatif dan terampil dalam mengajar dan mendidik, serta lebih memahami kekuatan dan kelemahan masing-masing siswa. Selain itu, pendidikan inklusif meningkatkan kompetensi guru dalam bidang pendidikan khusus. Guru menjadi lebih terbuka terhadap perbedaan dan keberagaman siswa, lebih mampu mendidik peserta didik dengan latar belakang yang bervariasi, serta lebih terbiasa dan terlatih dalam mengatasi berbagai tantangan pembelajaran. Pada akhirnya, hal ini memberikan kepuasan kerja yang lebih tinggi dan potensi pencapaian prestasi yang lebih besar bagi guru.
3) Manfaat pendidikan inklusif bagi orang tua
Bagi orang tua, pendidikan inklusif memberikan rasa dihargai dan meningkatkan apresiasi terhadap potensi anak mereka. Orang tua akan merasa bahagia melihat anaknya dapat berinteraksi sosial dengan baik tanpa mengalami diskriminasi. Mereka juga akan lebih memahami cara memotivasi belajar anak sesuai dengan kebutuhan khususnya. Selain itu, orang tua akan lebih mengerti cara membimbing anak mereka dengan lebih efektif, meningkatkan interaksi dan keterlibatan dalam proses belajar anak. Mereka juga berkesempatan untuk berbagi informasi dan berkolaborasi dengan pihak sekolah serta pihak terkait lainnya dalam merencanakan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan, kekuatan, kelemahan, masalah, dan hambatan yang dihadapi anak mereka. Terakhir, orang tua akan merasa senang melihat perkembangan keterampilan sosial anak mereka yang positif.
4) Manfaat pendidikan inklusif bagi pemerintah dan pemerintah daerah
Pendidikan inklusif memberikan manfaat signifikan bagi pemerintah dan pemerintah daerah, di antaranya adalah terwujudnya kebijakan pendidikan yang demokratis, adil, dan nondiskriminatif. Hal ini sejalan dengan amanat berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah, yang mencerminkan aspirasi warga negara Indonesia. Implementasi pendidikan inklusif akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah dan sekolah, khususnya dalam bidang pendidikan. Lebih jauh lagi, kesungguhan pemerintah dalam merealisasikan komitmen internasional terkait Pendidikan untuk Semua (Education for All) akan membangun citra positif di mata dunia internasional. Manfaat lainnya adalah percepatan penuntasan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun, serta memberikan kesempatan yang setara dan akses pendidikan yang lebih luas bagi seluruh peserta didik.
5) Manfaat pendidikan inklusif bagi masyarakat
Pendidikan inklusif memberikan dampak positif bagi masyarakat, di antaranya adalah optimalisasi potensi masyarakat dalam mendukung penyelenggaraan pendidikan. Masyarakat akan memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai hak setiap anak berkebutuhan khusus untuk mendapatkan pendidikan yang setara dengan anak lainnya. Selain itu, masyarakat dapat berkontribusi melalui pemikiran, ide, atau gagasan untuk mengembangkan sistem pendidikan yang lebih baik, dengan sikap yang lebih terbuka dan penuh kesadaran akan keberagaman kebutuhan peserta didik.
6) Manfaat pendidikan inklusif bagi sekolah
Pendidikan inklusif memberikan sejumlah keuntungan bagi sekolah, termasuk peningkatan citra sekolah sebagai lembaga yang terbuka, ramah, dan tidak diskriminatif. Selain itu, sekolah dapat meningkatkan kualitas pendidikan secara menyeluruh bagi semua siswa. Pendidikan inklusif juga memperluas akses bagi seluruh peserta didik untuk memperoleh layanan pendidikan yang berkualitas dan tidak diskriminatif. Proses pembelajaran menjadi lebih berpusat pada siswa, dengan kegiatan yang dirancang untuk mengakomodasi berbagai kebutuhan belajar. Perilaku guru yang suportif dapat meningkatkan motivasi dan kesenangan siswa dalam belajar, serta menciptakan lingkungan sekolah dan kelas yang ramah bagi seluruh peserta didik.
Hambatan-hambatan Pelaksanaan Sekolah Inklusif di Indonesia
Peserta Didik Berkebutuhan Khusus (PDBK) seringkali menghadapi lebih banyak kendala dalam proses belajar ketika berada di kelas yang sama dengan Peserta Didik Reguler (PDR). Beberapa faktor penyebab hambatan ini antara lain status PDBK sebagai minoritas di kelas, kurikulum yang kurang fleksibel dan tidak mengakomodasi kebutuhan spesifik PDBK, kurangnya panduan yang mendukung, keterbatasan anggaran dan sumber daya manusia, serta adanya persepsi masyarakat terhadap pendidikan inklusi (Nafisah & Rohaya, 2021).
Yulianto, dalam kajian Syifaun Nafisah & Sti Rohaya, menyoroti dan mengembangkan kembali konsep pendidikan inklusif dalam konteks sistem pendidikan nasional. Hal ini disebabkan oleh implementasi pendidikan inklusif yang dinilai belum optimal dalam memenuhi kebutuhan anak-anak ABK dan meningkatkan kualitas pendidikan secara keseluruhan. Untuk meningkatkan mutu sistem dan sekolah inklusif, terdapat tiga aspek penting yang perlu diperhatikan:
Lingkungan: Mencakup penerimaan PDBK di lingkungan sekolah, kemampuan guru dalam menyampaikan materi pelajaran, serta kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang melingkupi.
Faktor Internal PDBK: Meliputi motivasi belajar, rasa ingin tahu, kemampuan berkomunikasi dan berinteraksi.
Hakikat dan Tingkat Kebutuhan Khusus: Menekankan pentingnya asesmen sebagai langkah awal yang krusial untuk memahami kebutuhan spesifik PDBK.
DAFTAR ISI
Sahrudin, M., Djafri, N., & Suking, A. (2023). Pengelolaan Pendidikan Inklusif. Jambura Journal of Educational Management, 4(1), 162-179.
Jauhari, A. (2017). Pengertian Pendidikan Inklusif . Pendidikan Inklusi Sebagai Alternatif Solusi Mengatasi Permasalahan Sosial Anak Penyandang Disabilitas, 29.
Lazar, F. L. (2020). Pentingnya pendidikan inklusif bagi anak berkebutuhan khusus. Jurnal Pendidikan Dan Kebudayaan Missio, 12(2), 99-115.
Arriani, F., Agustiawati, A., Rizki, A., Widiyanti, R., Wibowo, S., Herawati, F., & Tulalessy, C. (2021). Panduan pelaksanaan pendidikan inklusif.
Mawa, H. A., Menge, C. D., Pare, M. I. T., & Baka, M. Y. (2023). PEMANFAATAN MEDIA PEMBELAJARAN YANG RAMAH ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS . Jurnal Pendidikan Inklusi Citra Bakti, 1(1), 31–38.
Firdaus, E. (2010, January). Pendidikan inklusif dan implementasinya di indonesia. In Seminar Nasional Pendidikan (pp. 24-36).
Irvan, M., & Jauhari, M. N. (2018). IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF SEBAGAI PERUBAHAN PARADIGMA PENDIDIKAN DI INDONESIA. Buana Pendidikan: Jurnal Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Unipa Surabaya, 14(26), 175–187.
Oleh Diajeng Tyas Pinru Phytanza, M. R. (2022). Pendidikan Inklusif: Konsep Implementasi dan Tujuan. CV Rey Media Grafika.
Martha, D., & Suryana, D. (2019). Manajemen Sarana dan Prasarana Pendidikan Inklusif Anak Usia Dini. Academia. Edu.
Jannah, A. M., Setiyowati, A., Lathif, K. H., Devi, N. D., & Akhmad, F. (2021). Model layanan pendidikan inklusif di Indonesia. Anwarul, 1(1), 121-136.