PERAN GURU DAN ORANG TUA DALAM MEWUJUDKAN PENDIDIKAN INKLUSIF YANG BERKUALITAS
Nurul Sakinah
Pendidikan Guru Sekolah Dasar
Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa
PENDAHULUAN
Pendidikan inklusif, menurut Pasal 1 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No. 70 Tahun 2009, adalah sistem pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik, termasuk mereka yang memiliki kelainan atau potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa, untuk belajar dalam satu lingkungan pendidikan yang sama dengan peserta didik lainnya. Sekolah inklusif adalah lembaga yang menerima semua siswa dalam satu kelas, menyediakan program pendidikan yang sesuai dan menantang, tetapi tetap disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan masing-masing siswa, serta memberikan dukungan yang diperlukan oleh guru untuk membantu keberhasilan anak-anak.
Untuk mewujudkan sekolah inklusif yang ramah, kolaborasi sangat diperlukan. Kolaborasi dapat terjadi pada berbagai tingkat dan situasi, baik dalam jangka waktu yang lama maupun singkat, tergantung pada kebutuhan. Misalnya, orang tua dan guru dapat bekerja sama untuk mencapai tujuan yang sama bagi siswa di kelas. Dua guru juga bisa berkolaborasi di dalam kelas utama, atau seorang guru dapat berkonsultasi dengan spesialis untuk mencari strategi pengajaran atau metode adaptasi yang tepat. Di tingkat sekolah, tim profesional kecil dapat bekerja bersama untuk merancang cara-cara inovatif dalam mengintegrasikan teknik pengajaran baru. Proses kolaborasi ini bertujuan untuk mencapai tujuan bersama, dengan fokus utama memberikan peluang bagi siswa penyandang disabilitas untuk menjadi bagian yang bermakna dari komunitas mereka.
Lebih lanjut, pertukaran pengetahuan, keterampilan, dan sumber daya antara berbagai profesional dengan latar belakang beragam akan membantu dalam merumuskan masalah dan tujuan dengan lebih baik. Kolaborasi memungkinkan eksplorasi berbagai dimensi masalah, memperluas pemahaman kelompok tentang situasi yang dihadapi. Hal ini juga menghasilkan solusi dan ide yang lebih luas, mencerminkan pepatah bahwa "dua kepala lebih baik dari satu" dalam menghasilkan ide-ide berkualitas. Berdasarkan hal ini, peneliti tertarik untuk menganalisis lebih lanjut fenomena tersebut melalui pengabdian berjudul: "Upaya Peningkatan Keterampilan Kolaborasi Guru Sekolah Dasar (SD) untuk Keberhasilan Pendidikan Inklusif."
KAJIAN TEORI
Pengertian Pendidikan Inklusif
Pendidikan inklusif berarti bahwa lembaga pendidikan dan masyarakat harus menerima semua anak dengan keunikan masing-masing, tanpa membedakan mereka berdasarkan kebutuhan khusus. Ini mencakup anak-anak dengan disabilitas, yang memiliki potensi kecerdasan atau bakat luar biasa, pekerja anak, anak jalanan, serta mereka yang berasal dari daerah terpencil, kelompok etnis dan bahasa minoritas, dan anak-anak yang terpinggirkan dalam masyarakat (Salamanca Statement, 1994).
Isu utama dalam pendidikan inklusif adalah pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam pendidikan, yang tercantum dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948). Khususnya, hak anak untuk tidak didiskriminasi diatur dalam Konvensi Hak-Hak Anak (1989). Setiap anak berhak mendapatkan pendidikan yang inklusif tanpa diskriminasi berdasarkan disabilitas, etnis, agama, bahasa, jenis kelamin, kemampuan, dan faktor lainnya. Kebijakan pendidikan harus mampu mengakomodasi pluralisme dan memberikan kesempatan bagi setiap individu untuk menemukan tempatnya dalam masyarakat. Komisi Internasional tentang Pendidikan untuk Abad 21 menekankan pentingnya kebijakan pendidikan yang bersifat diversifikasi dan tidak menciptakan eksklusivitas sosial, serta mendorong individu untuk hidup berdampingan (UNESCO, 1996).
Berdasarkan uraian di atas, pendidikan inklusif adalah pendekatan untuk mencapai tujuan pendidikan untuk semua (Education for All). Tujuan ini adalah menciptakan kebijakan yang sesuai dengan kondisi lingkungan agar semua anak, baik di jalur pendidikan formal maupun non-formal, dapat mengakses pendidikan yang setara. Di Indonesia, pendidikan inklusif masih merupakan paradigma baru. Penerapannya di sekolah reguler memerlukan perubahan pola pikir serta pemahaman mendalam dari semua pihak terkait. Sejak tahun 2000, Indonesia telah mengimplementasikan konsep ini sebagai negara yang menandatangani deklarasi pendidikan inklusif.
Konsep Pendidikan Inklusif
Bern (1997) dalam Budiyanto (2005) menyatakan bahwa pendidikan inklusif adalah suatu filosofi pendidikan yang merupakan bagian integral dari sistem pendidikan secara keseluruhan. Ini menunjukkan bahwa setiap individu adalah elemen yang tidak dapat dipisahkan dari sistem tersebut, sehingga tidak ada alasan untuk memisahkan atau mengisolasi bagian-bagian dari sistem itu.
Sementara itu, Stainback dan Stainback (1990) dalam Sunardi (2002) menjelaskan bahwa sekolah inklusi adalah institusi yang menerima semua siswa dalam satu kelas, dengan layanan pendidikan yang disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan masing-masing siswa. Dengan demikian, sekolah harus menjadi tempat di mana setiap anak diterima sebagai anggota kelas dan dapat bekerja sama dengan guru serta teman sebaya untuk memenuhi kebutuhan individu mereka.
Pandangan masyarakat mengenai konsep pendidikan inklusif bervariasi. Pendidikan inklusif dianggap sebagai kebalikan dari pendidikan luar biasa yang bersifat segregatif dan eksklusif, yang memisahkan anak-anak berkebutuhan khusus dari anak-anak pada umumnya, yang sering disebut sebagai anak normal. Namun, istilah normal itu sendiri tidak lebih jelas daripada istilah luar biasa atau berkelainan. Dalam kehidupan sehari-hari, setiap individu memiliki perbedaan, dan istilah normal atau abnormal hanya merujuk pada satu atau beberapa aspek tertentu dari manusia secara keseluruhan. Dalam konteks pendidikan luar biasa, pendidikan inklusif dipahami sebagai penggabungan antara pendidikan luar biasa dan pendidikan reguler dalam satu sistem yang terpadu. Pendidikan luar biasa itu sendiri mengacu pada pendidikan bagi siswa yang memiliki keistimewaan, baik dalam bentuk keunggulan (gifted/talented) maupun yang mengalami hambatan fisik, sensorik, motorik, intelektual, emosional, atau sosial.
Peserta Didik Berkebutuhan Khusus dalam Perspektif Pendidikan Inklusif
Peserta didik yang memiliki kebutuhan khusus, sebagai bagian dari keseluruhan peserta didik, berhak mendapatkan kesempatan yang setara dalam bidang pendidikan dan dapat berpartisipasi dalam kegiatan belajar di berbagai jenis dan jenjang pendidikan. Mereka tidak hanya terdaftar di lembaga pendidikan khusus, tetapi juga dapat bersekolah di sekolah umum yang berada dekat dengan tempat tinggal mereka. Namun, kenyataannya masih banyak sekolah umum yang belum dapat memenuhi hak peserta didik berkebutuhan khusus untuk belajar di lingkungan tersebut. Berbagai faktor menjadi penyebab mengapa sekolah umum belum mampu menerima mereka, salah satunya adalah kurangnya sumber daya yang mendukung pelaksanaan pendidikan bagi peserta didik berkebutuhan khusus.
Konsep anak berkebutuhan khusus mencakup makna yang lebih luas dibandingkan dengan istilah anak luar biasa. Anak berkebutuhan khusus umumnya mengalami kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran seperti peserta didik lainnya. Kesulitan ini bisa bersifat sementara atau permanen. Hambatan sementara biasanya dialami oleh mereka yang tidak memerlukan layanan pendidikan khusus secara terus-menerus, sering kali disebabkan oleh faktor eksternal seperti trauma, kesulitan berkonsentrasi akibat perlakuan kasar, atau masalah membaca akibat metode pengajaran yang tidak tepat. Mereka dapat mengatasi hambatan ini jika faktor penyebabnya ditangani dengan baik, sehingga layanan pendidikan yang diperlukan tidak lagi bersifat khusus. Namun, jika tidak ditangani dengan benar, hambatan ini dapat berlanjut menjadi permanen.
Sementara itu, hambatan permanen dialami oleh anak-anak yang memerlukan layanan lebih spesifik berdasarkan tingkat kebutuhannya, biasanya disebabkan oleh faktor internal seperti gangguan penglihatan, pendengaran, atau kecerdasan. Hambatan ini dianggap permanen karena kondisi fisik dan mental mereka sulit untuk diubah seperti anak-anak pada umumnya. Meskipun demikian, beberapa individu dalam kelompok ini mampu beradaptasi dengan lingkungan tanpa bantuan khusus dan dapat belajar, berkomunikasi, serta menjalani aktivitas sehari-hari secara mandiri.
Setiap anak berkebutuhan khusus, baik yang mengalami hambatan permanen maupun sementara, memiliki tantangan dan kebutuhan belajar yang unik. Oleh karena itu, diperlukan upaya penyesuaian dalam proses pembelajaran untuk memenuhi kebutuhan mereka secara efektif.
Tujuan Pendidikan Inklusif
Tujuan Utama Pendidikan Inklusif
Pendidikan inklusif memiliki sejumlah tujuan penting yang mendasari penerapannya di seluruh dunia. Tujuan-tujuan ini mencerminkan nilai-nilai inklusi, kesetaraan, dan hak asasi manusia dalam konteks pendidikan. Berikut adalah beberapa tujuan utama dari pendidikan inklusif:
Menghapus Diskriminasi
Salah satu tujuan utama dari pendidikan inklusif adalah menghilangkan semua bentuk diskriminasi terhadap siswa yang memiliki kebutuhan khusus atau disabilitas. Pendidikan harus menjadi hak yang dapat diakses oleh setiap individu, tanpa terkecuali.
Kesetaraan
Pendidikan inklusif bertujuan untuk menciptakan kesetaraan di antara seluruh siswa. Semua siswa, termasuk mereka yang memiliki disabilitas, berhak mendapatkan pendidikan yang setara dengan rekan-rekan sebayanya.
Mengintegrasikan Siswa
Fokus dari pendidikan inklusif adalah mengintegrasikan siswa dengan berbagai kebutuhan ke dalam lingkungan pendidikan yang sama dengan siswa lainnya. Hal ini memungkinkan interaksi sosial yang lebih baik dan integrasi yang lebih efektif dalam masyarakat.
Mendorong Kolaborasi
Tujuan lain dari pendidikan inklusif adalah mendorong kerja sama antara guru, siswa, orang tua, dan tenaga pendidik lainnya. Kolaborasi ini sangat penting untuk menciptakan lingkungan pembelajaran yang inklusif dan mendukung, di mana setiap siswa merasa dihargai dan diberi kesempatan untuk berkembang.
Persiapan untuk Kehidupan yang Lebih Baik
Pendidikan inklusif membantu siswa dengan kebutuhan khusus untuk mempersiapkan diri berpartisipasi aktif dalam masyarakat dan mencapai kehidupan yang lebih baik setelah menyelesaikan pendidikan mereka. Mereka diberikan kesempatan untuk mengembangkan keterampilan sosial, akademik, serta keterampilan hidup sehari-hari.
PEMBAHASAN
Peran Guru Dalam Mewujudkan Pendidikan Inklusif
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Satwika et al. (2019), dijelaskan bahwa peran guru sangat krusial dalam mendidik dan mengembangkan potensi siswa di kelas. Seorang guru dapat dianggap profesional jika mampu mengajar sesuai dengan kemampuan dan potensi siswa. Tuntutan ini berlaku tidak hanya untuk guru di kelas reguler, tetapi juga bagi mereka yang mengajar siswa berkebutuhan khusus (ABK). Guru berperan sebagai faktor kunci dalam proses pembelajaran dan sangat penting untuk mencapai keberhasilan pendidikan siswa. Oleh karena itu, guru di sekolah inklusi atau yang menangani ABK diharapkan memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi dan memahami kemampuan siswa, yang menjadi dasar dalam proses pembelajaran serta layanan pendidikan selanjutnya. Djamarah, S.B. (2010) dalam Satwika et al. (2019) menekankan bahwa guru seharusnya memiliki kompetensi profesional, personal, sosial, serta pengajaran yang baik.
Dalam praktik pendidikan inklusif, identifikasi terhadap ABK dilakukan untuk memahami karakteristik khusus siswa. Sekolah, baik inklusi maupun umum, biasanya diwajibkan melakukan identifikasi sebelum menerima ABK, dan proses ini harus dilakukan pada awal tahun ajaran baru. Garnida (2016) dalam Satwika et al. (2019) menjelaskan bahwa identifikasi ditujukan untuk tiga kelompok siswa: siswa baru, siswa terdaftar, dan anak-anak yang tidak bersekolah. Identifikasi perilaku dan karakteristik awal siswa merupakan upaya guru untuk memahami kebutuhan, bakat, minat, serta tuntutan terkait program pembelajaran tertentu, dengan mempertimbangkan aspek sosial, budaya, ekonomi, serta pengetahuan dan teknologi yang relevan.
Penelitian oleh Reynold (2007) dalam Satwika et al. (2019) menunjukkan bahwa kompleksitas praktik pendidikan inklusi memerlukan guru yang memahami nilai-nilai inklusi dan menerapkannya dalam praktik di kelas. Guru perlu terus mengevaluasi dan mengembangkan keterampilan mereka dalam pendidikan inklusi; oleh karena itu, pelatihan sangat penting. Watkins (2014) dan Donnelly (2010) dalam Satwika et al. (2019) menyatakan bahwa kemampuan untuk melakukan identifikasi adalah keterampilan wajib bagi guru yang mengajar ABK di kelas inklusi. Suparno (dalam Satwika et al., 2019) juga menambahkan bahwa guru yang memiliki wawasan dan pengalaman tentang ABK dapat lebih baik memenuhi kebutuhan siswa tersebut.
Selanjutnya, penelitian oleh Katsafanas (2006) mengenai peran dan tanggung jawab guru pendidikan khusus menemukan bahwa mereka menghadapi tantangan dalam identifikasi, pengajaran, dan evaluasi siswa karena karakteristik ABK yang berbeda dari siswa reguler. Dalam pendidikan inklusif, guru perlu dilengkapi dengan pengetahuan tentang ABK, termasuk cara mengidentifikasi mereka. Pengetahuan ini diharapkan memudahkan guru di sekolah inklusi untuk mengenali ABK yang terdaftar maupun siswa baru sehingga identifikasi yang tepat dapat meningkatkan kualitas pendidikan secara keseluruhan.
Peran Orang Tua dalam Mewujudkan Pendidikan Inklusif
Keterlibatan orang tua dalam pendidikan anak merupakan elemen krusial yang mendorong dan mempengaruhi keberhasilan pengembangan pendidikan inklusi di seluruh dunia. Ini mencakup berbagai aspek, mulai dari keputusan mengenai penempatan sekolah hingga kolaborasi antara orang tua dan sekolah untuk anak-anak berkebutuhan khusus.
Tanggung Jawab Orang Tua
Orang tua memiliki tanggung jawab utama dalam pendidikan anak-anak mereka. Di mana pun anak menempuh pendidikan, baik di lembaga formal, informal, maupun non-formal.
Peran orang tua tetap signifikan dalam menentukan arah pendidikan anak. Dalam konteks ini, keterlibatan orang tua sangat berdampak pada keberhasilan atau kegagalan anak dalam proses belajar. Pendidikan yang diberikan oleh orang tua menjadi dasar fundamental bagi pertumbuhan dan perkembangan anak, sehingga keberhasilan mereka sangat bergantung pada dukungan orang tua dan lingkungan sekitar.
Vitalnya Peran Orang Tua
Peran dan fungsi orang tua adalah hal yang sangat penting. Dalam konteks anak berkebutuhan khusus, orang tua berperan sebagai pendamping utama, advokat, penyedia informasi, guru, dan diagnostik. Keterlibatan mereka dalam pendidikan anak berkebutuhan khusus menjadi faktor kunci dalam kemajuan pendidikan inklusi. Dalam sistem pendidikan inklusif, peran orang tua tidak dapat dipisahkan dari pencapaian tujuan pendidikan yang telah direncanakan dengan baik.
Kontribusi Orang Tua
Kontribusi orang tua dapat terlihat melalui penerimaan dan dukungan terhadap pendidikan inklusif, partisipasi dalam kegiatan sosialisasi, bantuan finansial dan fasilitas, bimbingan belajar, serta berbagai aspek lain yang terkait dengan implementasi pendidikan inklusif. Dengan demikian, peran aktif orang tua sangat berpengaruh terhadap kesuksesan pendidikan anak-anak mereka.
Tantangan Pendidikan Inklusi dalam Mendidik Anak Berkebutuhan Khusus
Perasaan guru akan kurangnya kompetensi
Ward (1987) menyatakan bahwa penolakan dari guru serta kurangnya dukungan terhadap anak berkebutuhan khusus disebabkan oleh kurangnya pemahaman dan pengetahuan tentang mereka. Kurangnya pelatihan yang memadai dalam pendidikan yang diberikan kepada guru terkait anak berkebutuhan khusus menjadi salah satu alasan mengapa guru di sekolah reguler menentang kebijakan sekolah inklusi. Guru merasa tidak memiliki keterampilan untuk mengajar siswa dengan berbagai kebutuhan khusus, namun kebijakan tersebut mengharuskan mereka menerima keberadaan anak berkebutuhan khusus di kelas mereka. Hal ini mempengaruhi sikap dan perlakuan guru terhadap anak-anak tersebut (Pavri & Luftig; Cook, 2000, dalam Pujaningsih, 2011). Sikap yang ditunjukkan oleh guru juga dapat mempengaruhi penerimaan anak berkebutuhan khusus oleh teman-temannya (Paris, 2000). Oleh karena itu, komitmen guru di sekolah inklusi menjadi faktor yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan atau kegagalan program inklusif.
Keterbatasan sarana dan prasarana
Penyelenggaraan sekolah inklusi memang memerlukan beragam sarana dan prasarana yang cukup banyak, karena sekolah inklusi harus mampu memenuhi semua kebutuhan anak berkebutuhan khusus. Contohnya termasuk kelas untuk bimbingan khusus, jalur akses bagi anak tuna daksa, alat bantu pendengaran untuk anak tuna rungu, serta buku braille untuk anak tuna netra (Yusraini, 2013). Keterbatasan dalam sarana dan prasarana ini berdampak pada minimnya pelayanan yang dapat diberikan kepada anak berkebutuhan khusus. Salah satu tantangan utama terkait dengan kurangnya sarana dan prasarana adalah keterbatasan anggaran.
Kurangnya kesadaran orang tua dan masyarakat terhadap anak berkebutuhan khusus
Orang tua dari anak berkebutuhan khusus memiliki peran yang sangat krusial, baik dalam pengambilan keputusan mengenai pendidikan maupun dalam memberikan dukungan kepada anak. Dukungan tersebut meliputi keterlibatan dalam berbagai aspek, seperti merawat anak di rumah, menciptakan lingkungan yang aman dan stabil, serta menerapkan pendekatan pengasuhan yang tepat. Anak berkebutuhan khusus dapat mencapai potensi maksimalnya dengan dukungan penuh dari orang tua. Dukungan dari ibu dapat meningkatkan rasa percaya diri anak, sedangkan dukungan dari ayah berkontribusi pada pengembangan kompetensi anak (Danielsen, 2009).
Selain peran orang tua, masyarakat juga memiliki andil penting dalam perkembangan anak berkebutuhan khusus. Penerimaan dari orang tua dan masyarakat terhadap kondisi anak akan memengaruhi sikap mereka terhadap anak tersebut. Lingkungan yang menerima kekurangan anak akan berupaya mengurangi dampak keterbatasan dan mendukung proses pembelajaran anak secara optimal. Sebaliknya, lingkungan yang belum bisa menerima kondisi anak cenderung merasa malu dan kurang terbuka terhadap perkembangan mereka.
Namun, banyak orang tua masih ragu untuk memasukkan anak berkebutuhan khusus ke sekolah reguler karena khawatir akan adanya penolakan atau diskriminasi. Masyarakat pun sering menunjukkan sikap kurang peduli terhadap keberadaan anak berkebutuhan khusus.
Mewujudkan Pendidikan Inklusif
Pendidikan inklusif adalah tanggung jawab kolektif yang melibatkan pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Untuk mewujudkan pendidikan inklusif, diperlukan perubahan cara berpikir dan pandangan dari semua pihak yang terlibat dalam sektor pendidikan, agar mereka dapat memahami sepenuhnya konsep pendidikan inklusif. Transformasi ini bertujuan untuk memperkuat komitmen pemerintah daerah dalam pelaksanaan pendidikan inklusif serta mendukung pembentukan unit layanan disabilitas dalam bidang pendidikan. Pemerintah perlu menyediakan fasilitas bagi satuan pendidikan, terutama yang telah menerima siswa dengan kebutuhan khusus, sesuai dengan ketentuan Pasal 3 ayat (1) PP No. 13 Tahun 2020 mengenai Akomodasi yang Layak untuk Peserta Didik Penyandang Disabilitas. Fasilitas ini mencakup peningkatan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan yang memiliki keahlian dalam pendidikan khusus serta penyediaan sarana dan prasarana yang dapat diakses oleh semua siswa.
Kemendikbudristek dan KemenPAN-RB perlu segera menangani masalah Guru Pembimbing Khusus (GPK) agar layanan pendidikan inklusif di daerah dapat berjalan dengan optimal. GPK tidak bisa diemban oleh sembarang individu; mereka harus memiliki kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, serta kompetensi dasar lainnya, di samping memiliki ketulusan hati dan kesabaran yang tinggi. Untuk mendukung para guru di sekolah inklusi, Kemendikbudristek telah meluncurkan platform Merdeka Mengajar, yang memungkinkan guru mempelajari cara memberikan layanan pendidikan yang sesuai bagi siswa berkebutuhan khusus. Selain itu, pengarusutamaan isu disabilitas di masyarakat juga perlu diperkuat agar generasi muda tertarik untuk menjadi GPK.
Sebagai alternatif, Kemendikbudristek dapat berkolaborasi dengan Kementerian Sosial (Kemensos) untuk mengatasi kekurangan jumlah GPK dengan melibatkan pekerja sosial. Kemensos memiliki sejumlah pekerja sosial berpengalaman dalam menangani penyandang disabilitas, meskipun mereka tidak dapat terlibat langsung dalam pendidikan umum, tetapi dapat mendampingi anak-anak sesuai dengan kebutuhan disabilitas mereka.
Pelaksanaan Pendidikan Inklusif
Dalam pelaksanaannya, proses penerimaan siswa dengan kebutuhan khusus (ABK) tidak jauh berbeda dari penerimaan siswa reguler. Namun, anak-anak dengan kebutuhan khusus memerlukan evaluasi lebih mendalam terkait kemampuan kognitif, emosional, sosial, dan perilaku mereka. Hal ini menyebabkan adanya sedikit diskriminasi dalam proses penerimaan tersebut. Evaluasi ini menunjukkan bahwa pengelompokan kelas untuk ABK masih bersifat umum dan belum mempertimbangkan secara rinci setiap jenis disabilitas yang dimiliki. Selain itu, tantangan bagi penyelenggara pendidikan inklusi dan ABK adalah perlunya penyesuaian kurikulum yang fleksibel bagi anak-anak dengan kebutuhan khusus atau keterbatasan mental di kelas reguler. Dalam pelaksanaan pembelajaran pendidikan inklusi, guru harus mampu menciptakan suasana belajar yang ramah dan nyaman agar semua siswa dapat belajar dengan baik dan merasa senang.
Berdasarkan penelitian dari beberapa jurnal, ditemukan bahwa sekolah formal yang menerima anak berkebutuhan khusus belum sepenuhnya menerapkan pendidikan inklusi sesuai dengan pedoman yang ada. Pelaksanaan pendidikan inklusi memang tidak mudah, terutama mengingat perilaku ABK yang sulit diprediksi. Saat ini, sekolah formal yang menerima ABK belum memiliki kriteria khusus mengenai anak-anak tersebut, seperti karakteristik atau jenis disabilitas, jumlah peserta didik ABK yang diterima, tes kecerdasan, serta fasilitas yang belum sepenuhnya mendukung kebutuhan mereka. Sebagai contoh, guru yang mengajar ABK sering kali tidak memiliki keterampilan yang memadai, seperti pemahaman dan pengalaman dalam membimbing mereka, karena proses pembelajaran mereka berbeda dari siswa pada umumnya. Ketidakmampuan guru dalam menangani situasi ini disebabkan oleh kurangnya sarana dan fasilitas serta latar belakang pendidikan guru yang tidak memadai untuk menangani ABK.
Pelayanan yang harus diberikan dalam kegiatan belajar mengajar di Sekolah Dasar Inklusi adalah memberikan motivasi dan validasi kepada siswa mengenai penerimaan terhadap keadaan mereka, berdasarkan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat Indonesia, seperti menyisipkan pendidikan Pancasila secara sederhana dalam interaksi sehari-hari. Selain itu, pelayanan dasar seperti pengklasifikasian ABK sesuai dengan kebutuhan masing-masing tanpa memandang jenis disabilitas juga perlu diterapkan. Menurut Vaughn, Bos & Schumn yang dikutip oleh Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa (2008: 6-10), penempatan ABK di sekolah inklusi di Indonesia dibagi menjadi enam pendekatan sebagai berikut:
1. Kelas umum - Full Inclusion: ABK dan siswa reguler mengikuti kegiatan belajar mengajar (KBM) dengan waktu dan model pembelajaran yang sama seperti di sekolah umum.
2. Kelas umum - Cluster: ABK dan siswa reguler mengikuti KBM di kelas umum dalam kelompok khusus.
3. Kelas umum - Pull-out: ABK dan siswa reguler mengikuti KBM di kelas umum tetapi pada waktu tertentu meninggalkan kelas untuk mendapatkan bimbingan dari instruktur khusus.
4. Kelas umum - Cluster & Pull-out: ABK dan siswa reguler mengikuti KBM di kelas umum dalam kelompok khusus tetapi pada waktu tertentu dialihkan ke ruang sumber untuk belajar dan mendapatkan bimbingan dari guru pembimbing khusus.
5. Kelas spesifik berintegrasi: Hanya berisi siswa berkebutuhan khusus yang melaksanakan KBM dan menerima bimbingan dari instruktur khusus di dalam kelas khusus, namun pada aktivitas tertentu dapat belajar bersama siswa lain di kelas umum.
6. Kelas full private: Berisi siswa berkebutuhan khusus yang melaksanakan KBM dan menerima layanan bimbingan dari guru pembimbing khusus di dalam kelas khusus.
DAFTAR PUSTAKA
Rosita, Tita, Maya Masyita Suherman, and Alvian Agung Nurhaqy. "Keterampilan kolaborasi guru sekolah dasar untuk keberhasilan pendidikan inklusif." Warta Pengabdian 16.2 (2022): 75-88.
Darma, Indah Permata, and Binahayati Rusyidi. "Pelaksanaan sekolah inklusi di Indonesia." Prosiding penelitian dan pengabdian kepada masyarakat 2.2 (2015): 223-227.
Harahap, Ernawati. Pendidikan Inklusi. Penerbit NEM, 2022.
Sugiarmin, Muhammad. "Peserta Didik Berkebutuhan Khusus Dalam Perspektif Pendidikan Inklusif." Artikel untuk Dies Natalis UPI (2003).
Fahrezi, Rian Muhamad. "Peran Guru Dalam Meningkatkan Kualitas Pendidikan Inklusi." Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta, Indonesia 1.1 (2024): 1-7.
Rizkiana, Rizkiana, Nurdin Nurdin, and Firdiansyah Alhabsyi. "Peranan Guru Dan Orang Tua Dalam Perkembangan Anak Berkebutuhan Khusus (Abk) Pada Pendidikan Inklusi." Prosiding Kajian Islam Dan Integrasi Ilmu Di Era Society (KIIIES) 5.0 2.1 (2023): 201-206.
Phytanza, Diajeng Tyas Pinru, et al. Pendidikan Inklusif: Konsep, Implementasi, dan Tujuan. CV Rey Media Grafika, 2022.
RI, Badan Keahlian DPR, Gd Nusantara I. Lt, and Jl Jend Gatot Subroto. "TANTANGAN DALAM MEWUJUDKAN PENDIDIKAN INKLUSIF."
Hanifah, Diva Salma, et al. "Tantangan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) dalam menjalani pendidikan inklusi di tingkat sekolah dasar." Jurnal Penelitian Dan Pengabdian Kepada Masyarakat (JPPM) 2.3 (2021): 473-483.
Pratiwi, Jamilah Candra. "Sekolah inklusi untuk anak berkebutuhan khusus: tanggapan terhadap tantangan kedepannya." Prosiding Ilmu Pendidikan 1.2 (2016).