LINGKUNGAN BELAJAR POSITIF: PONDASI KESEHATAN EMOSIONAL DAN SOSIAL ANAK SEKOLAH DASAR
NAMA: RAHMA AYU NUR AZIZAH (2024015088)
PGSD UNIVERSITAS SARJANAWIYATA TAMANSISWA
G-Mail: rahmaayunurazizah438@gmail.com
PENDAHULUAN
Lingkungan belajar tidak hanya sebatas ruangan dengan meja, papan tulis, dan buku. Bagi anak-anak sekolah dasar, sekolah adalah dunia kedua setelah rumah, tempat mereka mulai mengenal diri sendiri dan belajar berhubungan dengan orang lain. Di sanalah tumbuh rasa percaya diri, keberanian untuk bertanya, dan kemampuan bekerja sama. Sayangnya, banyak yang masih menganggap remeh pentingnya suasana belajar yang sehat secara emosional dan sosial. Padahal, lingkungan belajar yang kondusif adalah fondasi penting untuk membentuk karakter anak sejak dini.
ISI DAN ARGUMEN
Lingkungan belajar yang positif menciptakan rasa aman dan nyaman bagi anak. Rasa aman ini menjadi kunci utama agar anak bisa belajar dengan tenang dan percaya diri. Ketika guru memperlakukan murid dengan penuh kesabaran, menghargai perbedaan, dan terbuka dalam berkomunikasi, maka anak merasa diterima. Dalam suasana seperti itu, anak tidak takut untuk mencoba, tidak malu untuk bertanya, dan lebih terlibat dalam kegiatan belajar. Seperti dikatakan oleh Vygotsky (1978), proses belajar sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosial, karena sejatinya belajar adalah kegiatan yang berlangsung dalam hubungan antar manusia.
Tak hanya itu, lingkungan belajar yang baik juga membentuk kemampuan sosial anak. Di usia sekolah dasar, anak sedang giat-giatnya belajar bersosialisasi. Lingkungan yang mendorong kerja sama, menghargai perbedaan, dan membangun toleransi akan memperkaya pengalaman sosial mereka. Dari interaksi yang positif, anak belajar menyelesaikan konflik, memahami perasaan orang lain, dan menjalin relasi yang sehat. Sebaliknya, lingkungan yang terlalu kompetitif atau penuh tekanan bisa menyebabkan kecemasan dan bahkan perundungan. Penelitian Pianta dkk. (2002) menunjukkan bahwa hubungan guru dan murid yang hangat dan suportif berdampak besar pada keterlibatan anak, baik secara akademik maupun sosial.
Lebih jauh lagi, lingkungan belajar yang mendukung dapat melindungi anak dari masalah psikologis sejak dini. Jika ruang belajar dipenuhi tekanan atau ketegangan, anak bisa mengalami stres, cemas, bahkan menarik diri dari lingkungan sosialnya. Contohnya, anak menjadi takut ke sekolah atau tampak murung tanpa sebab jelas. Sebaliknya, suasana belajar yang positif menjadi semacam tempat aman di mana anak merasa didukung, dimengerti, dan bisa mengekspresikan dirinya. Data dari UNICEF (2022) mencatat bahwa sekolah yang menerapkan pendekatan ramah anak mampu mengurangi tingkat kecemasan hingga 30%.
Peran guru sangat besar dalam membentuk suasana belajar seperti ini. Guru bukan sekadar penyampai materi, tetapi juga pendamping emosional yang berpengaruh besar dalam kehidupan anak. Guru yang mengedepankan pendekatan humanis dan memahami pentingnya kesejahteraan emosional akan lebih mampu menciptakan suasana kelas yang menyenangkan dan produktif. Menurut Jennings & Greenberg (2009), guru yang memiliki kecerdasan sosial dan emosional yang baik cenderung berhasil menjaga kelas yang kondusif dan penuh semangat belajar.
Tak kalah penting adalah peran orang tua. Lingkungan belajar anak tidak hanya dibentuk di sekolah, tetapi juga di rumah. Ketika orang tua turut aktif mendampingi proses belajar, menjalin komunikasi terbuka dengan guru, serta menciptakan suasana rumah yang tenang dan mendukung, maka anak akan lebih percaya diri dan bersemangat belajar. Konsistensi antara dukungan di rumah dan di sekolah akan membuat anak merasa utuh dan aman dalam menjalani aktivitas belajarnya.
Beberapa sekolah dasar di Indonesia telah mulai menerapkan konsep “kelas ramah anak”, di mana suasana kelas didesain penuh warna, tempat duduk melingkar, dan ada sesi harian untuk berbagi cerita atau perasaan. Guru tidak hanya mengajar, tapi juga mendengarkan. Hasilnya, siswa lebih terbuka, berani mencoba, dan lebih bersemangat mengikuti pelajaran. Di samping itu, kebijakan sekolah yang berpihak pada kesejahteraan siswa juga sangat penting, seperti menyediakan konselor, pelatihan untuk guru tentang kecerdasan emosional, dan kegiatan ekstrakurikuler yang menumbuhkan empati serta kerja tim. Semua ini membentuk sistem pendukung yang utuh agar anak betah dan bahagia di sekolah.
PENUTUP
Lingkungan belajar yang positif bukanlah sebuah pelengkap, melainkan kebutuhan mendasar bagi anak-anak di usia sekolah dasar. Bila kita ingin mereka tumbuh menjadi individu yang sehat secara emosional dan tangguh dalam berhubungan sosial, maka sekolah harus menjadi tempat yang tidak hanya mendidik pikiran, tetapi juga menyentuh hati. Saatnya kita melihat ruang kelas bukan hanya sebagai tempat belajar, melainkan juga tempat bertumbuh dan berkembang sebagai manusia.
AJAKAN
Mari kita semua guru, orang tua, pihak sekolah, dan masyarakat sekitar bersama-sama menciptakan lingkungan belajar yang mendukung kesehatan emosional dan sosial anak. Karena dari ruang belajar yang sehat, masa depan yang lebih cerah bisa kita mulai bangun sejak hari ini.
DAFTAR PUSTAKA
Jennings, P. A., & Greenberg, M. T. (2009). The Prosocial Classroom: Teacher Social and Emotional Competence in Relation to Student and Classroom Outcomes. Review of Educational Research, 79(1), 491–525.
Pianta, R. C., Stuhlman, M. W., & Hamre, B. K. (2002). How schools can do better: Fostering stronger connections between teachers and students. New Directions for Youth Development, 93, 91–107.
UNICEF. (2022). Child-Friendly Schools and Mental Health. Retrieved from https://www.unicef.org
Vygotsky, L. S. (1978). Mind in Society: The Development of Higher Psychological Processes. Harvard University Press.