-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Tag Terpopuler

Merdeka Belajar di Sekolah Dasar Antara Harapan dan Tantangan Implementasi dalam Konteks Lokal

Rabu, 02 Juli 2025 | Juli 02, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-07-02T23:58:09Z

Merdeka Belajar di Sekolah Dasar Antara Harapan dan Tantangan Implementasi dalam Konteks Lokal

Penulis: Isti Fa’ida




Wacana pendidikan di Indonesia selalu dinamis, berputar pada upaya menemukan formula terbaik untuk mencetak generasi yang cerdas, adaptif, dan berkarakter. Dalam beberapa tahun terakhir, gagasan "Merdeka Belajar" yang diusung oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menjadi pusat perhatian. Dengan semangat membebaskan guru dan peserta didik dari belenggu kurikulum yang kaku, Kurikulum Merdeka hadir sebagai angin segar, terutama di jenjang sekolah dasar. Namun, di balik janji otonomi dan pembelajaran yang berpusat pada siswa, implementasi Kurikulum Merdeka di lapangan, khususnya di sekolah dasar, menghadapi berbagai tantangan yang patut dikaji secara kritis. Artikel ini akan menelaah harapan yang diemban Kurikulum Merdeka, permasalahan yang muncul dalam praktiknya, serta menawarkan gagasan kritis untuk memastikan visi pendidikan yang merdeka benar-benar terwujud hingga ke pelosok negeri.

1. Harapan pada Kurikulum Merdeka di Sekolah Dasar

Kurikulum Merdeka didasari oleh filosofi pendidikan yang lebih holistik dan berorientasi pada pengembangan potensi individu. Berbeda dengan Kurikulum 2013 yang cenderung padat materi dan bersifat seragam, Kurikulum Merdeka menawarkan fleksibilitas yang lebih besar. Konsep Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) menjadi salah satu inovasi utama, mendorong peserta didik untuk belajar melalui proyek lintas disiplin yang relevan dengan kehidupan nyata. Bagi sekolah dasar, hal ini berarti kesempatan untuk merancang pembelajaran yang lebih kontekstual, sesuai dengan karakteristik siswa dan lingkungan sekitar.

Harapan besar terletak pada peningkatan motivasi belajar siswa. Ketika pembelajaran tidak lagi melulu tentang menghafal fakta, melainkan melibatkan eksplorasi, kreasi, dan pemecahan masalah, siswa diharapkan menjadi lebih aktif dan antusias. Guru juga diberikan kebebasan untuk mengembangkan modul ajar yang disesuaikan dengan kebutuhan spesifik kelas mereka, membebaskan mereka dari keharusan mengikuti silabus yang kaku. Ini adalah langkah maju menuju pendidikan yang tidak hanya berorientasi pada nilai akhir, tetapi juga pada proses, kreativitas, dan pengembangan karakter yang kuat, sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.

2. Permasalahan dalam Implementasi: Studi Kasus dan Refleksi Lapangan

Meskipun visi Kurikulum Merdeka sangat menjanjikan, realita di lapangan seringkali menghadirkan tantangan yang kompleks. Berdasarkan observasi selama program pengalaman lapangan (PPL) dan diskusi dengan rekan sejawat serta guru-guru di beberapa sekolah dasar, beberapa permasalahan mendasar dapat diidentifikasi:

Pertama, kesiapan guru. Transformasi dari Kurikulum 2013 ke Kurikulum Merdeka menuntut perubahan paradigma yang signifikan dari para pendidik. Banyak guru, terutama yang telah lama mengajar dengan metode konvensional, merasa kesulitan beradaptasi dengan pendekatan proyek dan kebebasan yang diberikan. Pelatihan yang diberikan terkadang belum memadai atau tidak berkelanjutan, sehingga guru merasa tidak yakin dalam mengimplementasikan konsep-konsep baru. Contohnya, beberapa guru masih cenderung mengartikan P5 sebagai kegiatan ekstra-kurikuler terpisah, bukan sebagai bagian integral dari pembelajaran yang dirancang untuk menguatkan dimensi Profil Pelajar Pancasila.

Kedua, keterbatasan sumber daya dan infrastruktur. Implementasi P5, misalnya, seringkali membutuhkan bahan ajar yang beragam, alat peraga, atau bahkan fasilitas pendukung di luar kelas. Di sekolah-sekolah yang berada di daerah terpencil atau dengan keterbatasan anggaran, hal ini menjadi kendala serius. Konsep "Merdeka" seringkali diartikan sebagai kebebasan tanpa dukungan yang memadai, sehingga guru terpaksa berinovasi dengan minim fasilitas, yang pada akhirnya dapat mengurangi kualitas pembelajaran. Studi kasus di beberapa sekolah pedesaan menunjukkan bahwa ketersediaan buku non-teks dan akses internet yang terbatas menjadi hambatan dalam mendukung eksplorasi materi yang diharapkan oleh Kurikulum Merdeka.

Ketiga, misinterpretasi dan inkonsistensi pemahaman. Meskipun Kurikulum Merdeka mengedepankan fleksibilitas, ada kecenderungan di beberapa daerah untuk menyeragamkan praktik dengan alasan kemudahan evaluasi atau monitoring. Hal ini justru mengikis esensi kemerdekaan yang ingin dicapai. Selain itu, pemahaman yang berbeda antara pembuat kebijakan, dinas pendidikan daerah, kepala sekolah, dan guru seringkali menimbulkan kebingungan dalam penerapan. Kurikulum yang seharusnya membebaskan, justru dapat menjadi beban baru jika tidak ada keselarasan pemahaman dan dukungan yang komprehensif dari semua pihak.

3. Gagasan Kritis untuk Optimalisasi Kurikulum Merdeka

Untuk mengatasi permasalahan di atas dan memastikan Kurikulum Merdeka berjalan optimal di sekolah dasar, beberapa gagasan kritis perlu dipertimbangkan:

Pertama, penguatan pelatihan guru yang berkelanjutan dan kontekstual. Pelatihan tidak boleh hanya sekadar teori, tetapi harus dilengkapi dengan praktik langsung, pendampingan individual (coaching), dan forum berbagi praktik baik antar guru. Perlu ada modul pelatihan yang disesuaikan dengan konteks sekolah, baik dari segi fasilitas maupun karakteristik siswa. Mengadakan "komunitas belajar" antar guru di tingkat gugus atau kecamatan dapat menjadi wadah efektif untuk saling mendukung dan memecahkan masalah implementasi bersama.

Kedua, penyediaan sumber daya yang adekuat dan merata. Pemerintah pusat dan daerah perlu memastikan ketersediaan buku bacaan non-teks, alat peraga sederhana, dan akses terhadap teknologi informasi yang memadai, terutama untuk sekolah-sekolah di daerah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal). Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) perlu difokuskan juga untuk mendukung kegiatan berbasis proyek dan pengadaan bahan ajar yang inovatif, bukan hanya untuk kebutuhan rutin.

Ketiga, desentralisasi yang terarah dan pemberdayaan komunitas pendidikan. Konsep "Merdeka" harus benar-benar diartikan sebagai otonomi yang bertanggung jawab. Dinas pendidikan daerah dan kepala sekolah perlu diberikan keleluasaan, tetapi juga dibekali dengan pemahaman yang mendalam tentang Kurikulum Merdeka. Melibatkan komunitas, orang tua, dan tokoh masyarakat dalam pengembangan dan implementasi kurikulum lokal dapat memperkaya pengalaman belajar siswa dan memastikan relevansi pendidikan dengan kebutuhan daerah. Ini sejalan dengan semangat bahwa pendidikan adalah tanggung jawab bersama.

Keempat, evaluasi yang adaptif dan berorientasi pada proses. Penilaian dalam Kurikulum Merdeka seharusnya lebih fokus pada perkembangan kompetensi siswa dan proses belajar, bukan semata-mata hasil akhir. Mekanisme evaluasi harus mampu menangkap kekayaan pengalaman belajar yang berbeda di setiap sekolah dan tidak menjadi alat untuk menyeragamkan praktik. Feedback konstruktif bagi guru dan sekolah lebih penting daripada sekadar penilaian numerik.

Kurikulum Merdeka membawa harapan untuk pendidikan dasar Indonesia, menuju pembelajaran yang lebih relevan dan interaktif. Namun, realisasinya membutuhkan kolaborasi erat antara semua pihak: pembuat kebijakan, pelaksana di lapangan, dan pemangku kepentingan. Dengan pelatihan guru yang menyeluruh, dukungan sumber daya yang adil, desentralisasi yang terencana, dan evaluasi yang adaptif, Kurikulum Merdeka dapat menjadi fondasi kuat untuk menciptakan generasi penerus yang tidak hanya cerdas akademis, tetapi juga berkarakter Pancasila yang kokoh dan siap menghadapi masa depan. Pendidikan yang "Merdeka" haruslah sungguh-sungguh membebaskan, bukan malah menciptakan batasan baru akibat implementasi yang tidak jelas.

Daftar Pustaka

  1. Putri, N. S., & Aliyyah, R. R. (2024). Implementasi Kurikulum Merdeka di Sekolah Dasar: Perkembangan yang Signifikan dalam Pendidikan Indonesia. Karimah Tauhid, 3(3), 2769–2778. 

  2. HATTARINA, S., & AGUSTIN, R. (2024). EVALUASI KURIKULUM MERDEKA MENGGUNAKAN MODEL CIPP PADA SEKOLAH DASAR. CENDEKIA PENDIDIKAN, 3(1), 19-29. 

  3. Sephiawardani, N. A., & Bektiningsih, K. (2023). Review of Teacher Readiness in Implementing Merdeka Curriculum at Public Elementary Schools. Jurnal Pendidikan Dan Pengajaran, 56(3), 533–542. 

  4. Maulana Hidayat, F. (2024). Teacher's Readiness In Implementing Merdeka Curriculum At Bina Qurani City School, Bogor City. Jurnal Scientia, 13(03), 1231-1253. 

  5. Sinyanyuri, S., Edwita, Yarmi, G. (2023). Peluang Dan Tantangan Implementasi Project Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) Di Tingkat Sekolah Dasar: Best Practice. Jurnal Ilmiah Pendidikan Dasar (Volume 08 Nomor 03)


×
Berita Terbaru Update