Merdeka Belajar di Sekolah Dasar: Antara Idealisme dan Realita di Lapangan
Nama Penulis : Juliarsy Zahra Mahdani
PGSD Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa
Pendahuluan
Transformasi dunia pendidikan melalui Kurikulum Merdeka menjadi langkah besar yang membawa semangat perubahan. Kurikulum ini hadir sebagai respons terhadap tantangan zaman yang menuntut pembelajaran lebih fleksibel, bermakna, dan berpusat pada peserta didik. Khusus di jenjang sekolah dasar, penerapan Kurikulum Merdeka menjadi fondasi penting dalam membentuk karakter dan kompetensi awal siswa. Namun, idealisme yang ditawarkan kurikulum ini tidak serta-merta mudah diterapkan di lapangan. Banyak guru dan sekolah masih berjuang memahami substansi kurikulum dan cara mengimplementasikannya secara efektif.
Sebagai mahasiswa Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD), saya melihat langsung bahwa perubahan kurikulum tidak cukup hanya digulirkan secara administratif. Dibutuhkan pemahaman mendalam, refleksi, dan adaptasi berkelanjutan agar pelaksanaan Kurikulum Merdeka benar-benar sesuai dengan kebutuhan siswa dan konteks sekolah masing-masing.
Isi
Kurikulum Merdeka: Antara Harapan dan Praktik
Kurikulum Merdeka mengusung prinsip utama yaitu pembelajaran yang berpihak pada murid. Siswa diharapkan lebih aktif dalam proses belajar, memiliki ruang untuk mengeksplorasi minat dan potensinya, serta terlibat dalam pembelajaran bermakna. Guru tidak lagi menjadi pusat utama pembelajaran, melainkan fasilitator yang memandu proses belajar secara fleksibel.
Gagasan ini sebenarnya telah lama digaungkan oleh Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional Indonesia, yang menyatakan bahwa: “Anak-anak hidup dan tumbuh sesuai kodratnya sendiri. Pendidik hanya dapat merawat dan menuntun tumbuhnya kodrat itu.” Kutipan ini menjadi dasar filosofis penting dari Kurikulum Merdeka. Tugas guru bukan untuk memaksakan isi kepala mereka ke siswa, tetapi menuntun mereka tumbuh sesuai potensi masing-masing.
Namun kenyataannya, masih banyak guru yang kesulitan mengubah pola pikir (mindset) dan pendekatan pembelajaran. Saat melaksanakan PPL di salah satu SD negeri, saya menemukan bahwa pembelajaran di kelas masih sangat bergantung pada buku teks dan metode ceramah. Kegiatan berdiferensiasi atau berbasis proyek masih jarang dilakukan. Guru merasa terbebani dengan tuntutan administratif dan kesulitan mengatur waktu untuk merancang pembelajaran kreatif.
Tantangan Implementasi di Sekolah Dasar
Beberapa tantangan utama dalam pelaksanaan Kurikulum Merdeka di SD, antara lain:
Kesiapan Guru
Banyak guru belum mendapatkan pelatihan komprehensif. Beberapa hanya mengikuti webinar tanpa praktik langsung. Akibatnya, mereka kurang percaya diri dalam menyusun alur tujuan pembelajaran (ATP), modul ajar, atau menerapkan asesmen formatif yang sesuai.
Keterbatasan Sarana dan Prasarana
Sekolah-sekolah di daerah pelosok atau pinggiran kota sering kekurangan media belajar, perangkat TIK, dan ruang kelas yang mendukung kegiatan kreatif. Pembelajaran berbasis proyek menjadi sulit dijalankan jika alat dan bahan tidak tersedia.
Minimnya Kolaborasi
Penerapan kurikulum ini membutuhkan kolaborasi yang kuat antara guru, kepala sekolah, orang tua, dan pemangku kepentingan lainnya. Sayangnya, di beberapa sekolah kolaborasi ini belum terbangun secara optimal.
Sebagai contoh, ketika siswa diminta membuat proyek sederhana seperti “jurnal tumbuhan”, banyak dari mereka kebingungan karena tidak semua orang tua mendampingi atau memahami instruksi guru. Hal ini menyebabkan siswa kehilangan arah dan hasil belajarnya pun tidak maksimal.
Peran Calon Guru SD sebagai Pemikir Kurikuler
Sebagai calon guru, kita tidak boleh pasif dalam menghadapi realitas ini. Justru di sinilah peran mahasiswa PGSD menjadi penting: tidak hanya memahami struktur kurikulum, tetapi mampu menelaah dan mengembangkannya secara reflektif. Kita harus menjadi pemikir kurikuler—yaitu guru yang mampu membaca konteks kelas, mengenali kebutuhan peserta didik, dan menyusun pembelajaran yang relevan.
Berpikir kurikuler juga berarti tidak kaku pada dokumen kurikulum, tetapi mampu menyesuaikannya dengan kondisi nyata. Misalnya, jika siswa sulit memahami konsep IPA melalui buku, kita bisa menyusun kegiatan eksperimen sederhana di halaman sekolah. Jika fasilitas tidak memadai, proyek bisa disederhanakan—bukan dihilangkan.
Pengalaman PPL saya mengajarkan bahwa guru yang kreatif tidak selalu membutuhkan alat mahal. Yang penting adalah kemauan untuk berinovasi dan berpihak pada siswa. Salah satu guru pembimbing saya pernah mengajak siswa membuat komik bertema hemat energi hanya dengan kertas bekas dan pensil warna. Hasilnya sangat bagus, dan siswa pun antusias karena merasa pembelajaran menyenangkan dan sesuai dunia mereka.
Kolaborasi dan Inovasi sebagai Kunci
Kurikulum Merdeka tidak dapat berdiri sendiri. Kolaborasi antara semua pihak sangat penting. Orang tua perlu dilibatkan secara aktif, baik dalam proyek, asesmen, maupun umpan balik. Kepala sekolah perlu memberikan ruang bagi guru untuk mencoba hal baru. Pemerintah juga harus memberikan dukungan pelatihan dan fasilitas yang memadai.
Selain kolaborasi, inovasi juga menjadi kunci. Guru perlu terus belajar, mencari inspirasi dari berbagai sumber, dan terbuka pada perubahan. Saat ini, banyak komunitas pendidikan seperti “Guru Belajar” atau “Komunitas Merdeka Belajar” yang bisa menjadi wadah berbagi ide dan solusi. Calon guru pun harus aktif mengikuti perkembangan ini agar tidak tertinggal.
Kesimpulan
Kurikulum Merdeka adalah langkah maju dalam upaya menciptakan pembelajaran yang lebih manusiawi dan relevan dengan kebutuhan peserta didik. Di tingkat sekolah dasar, penerapannya sangat penting karena pada fase inilah karakter dan kecintaan terhadap belajar dibentuk.
Namun, idealisme Kurikulum Merdeka hanya akan berhasil jika didukung oleh guru yang memahami esensinya, sarana yang memadai, dan kerja sama berbagai pihak. Tantangan memang ada, mulai dari keterbatasan fasilitas hingga minimnya pelatihan. Tapi bukan berarti kurikulum ini mustahil diterapkan.
Sebagai mahasiswa PGSD, kita memegang peran penting dalam masa depan pendidikan dasar. Kita harus terus belajar, merefleksikan praktik lapangan, dan bersiap menjadi guru yang tidak hanya mengajar, tapi juga menggerakkan perubahan. Seperti yang dikatakan Ki Hadjar Dewantara, “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani” — di depan memberi teladan, di tengah membangun semangat, di belakang memberi dorongan. Inilah filosofi yang harus hidup dalam setiap calon guru SD. Mari menjadi pendidik yang merdeka, dan memerdekakan.